Aku menceritakan kembali…
*
“Dek, waktu kakak masih seumuran denganmu, Ayah pernah mengajak kakak ke gedung yang saangat besar. Ayah bercerita, itu kampusnya dulu,” Kakak memulai.
“Kampus itu apa, Kak?” tanyaku.
“Kampus itu tempat ayah bersekolah. Sama seperti tempat Adek bersekolah sekarang. Cuma, sekolah ayah jaauh lebih besar dari tempat Adek bersekolah sekarang.”
“Aku mau Kak, sekolah di sekolah yang besar seperti sekolah Ayah dulu itu.”
“Iyaa,, Adek juga bisa bersekolah di sana. Tapi Adek harus rajin belajar sekarang. Adek harus naik ke kelas 3, 4, 5, 6 lalu lulus SD. Setelah SD, Adek nanti bersekolah lagi di sekolah yang lebih tinggi, namanya SMP. Selama itu, Adek harus tetap belajar yang rajin, supaya tidak sampai tinggal kelas, lalu 3 tahun bisa lulus, dan naik lagi ke sekolah yang lebih tinggi, namanya SMA. Nah, setelah 3 tahun d SMA dan lulus seperti waktu SMP, baru Adek bisa bersekolah di sekolah Ayah yang besar itu, namanya Universitas.”
Sambil mengurutkan jari, aku menghitung dan menjawab, “3, 4, 5, 6. Ditambah 3, ditambah 3 lagi. 10 tahun lagi dong Kak, aku baru bisa sekolah di tempat Ayah itu. Kenapa lama sekali, Kak?”
“Iya, itu namanya tahapan. Jadi Adek harus menyelesaikan dulu sekolah Adek yang sekarang, baru bisa melanjutkan ke sekolah yang lain, sampai ke sekolah Ayah. Seperti Adek kalau main ular tangga, harus lewat kotak demi kota, sampai tiba di garis finis.”
Belum genap kata-kata Kakak, aku menyahut, “Kan tangga jalan pintas, Kak? Biar bisa lompat banyak kotak sekaligus.”
“Iya, Dek,” sepertinya Kakak berusaha sabar. “Nanti kalau Adek benar-benar pintar sekolahnya, Adek juga bisa lompat kelas. Kakak punya teman yang menyelesaikan SD seperti Adek hanya dalam waktu 5 tahun, lalu SMP atau SMA juga bisa lulus dalam waktu 2 tahun. Tapi syaratnya prestasi Adek harus benar-benar bagus di sekolah.”
“Ooh..”
“Oh iya, gedung SMP itu biasanya juga lebih besar dari gedung SD, lalu gedung SMA juga lebih besar dari gedung SMP. Jadi Adek nanti kalau lulus bisa selalu melanjutkan ke sekolah yang lebih besar. Seperti Kakak, dulu setelah lulus SD, kakak sekolah ke SMP, lalu ke SMA. Sampai akhirnya, kakak bisa bersekolah di kampus, eh sekolah, yang sama seperti Ayah dulu.
“He’em!” Kataku sambil mengangguk semangat. “Aku pasti bisa seperti Ayah dan Kakak, bersekolah di Uniservitas!”
“Hihihi. Universitas Dek, bukan Unisertivas!” Kakakku terkikik dengan mata hampir terpejam.
“Uniservitas Kak, bukan Unisertivas. Aku tadi bilang Uniservitas, bukan Unisertivas.”
“Hahahahahaa…” Kami tertawa bersama-sama dengan mulut terbuka lebar. Aku senang melihat Kakak yang sedang tertawa, karena ketika Kakak tertawa, ia terlihat tidak berbeda denganku. Sama, seperti anak kecil kelas 2 SD.
Lalu aku memperhatikan kakakku dengan anehnya menggerak-gerakkan bola matanya ke atas, seperti mengingat sesuatu. “Kakak kok jadi lupa ya Dek, tadi mau cerita apa? Hahaha.”
“Kakak pernah diajak ke sekolah Ayah!”
“Oh iya! Haha. Gara-gara Adek tanyanya panjang sih, Kakak sampai lupa mau cerita apa. Tapi nggak papa, Adek juga yang akhirnya ingat!” Kata kakakku sambil tersenyum.
Aku sering bertanya-tanya, kenapa Kakak sering sekali tersenyum kalau berbicara denganku? Padahal waktu kuperhatikan ia berbicara dengan orang selain aku, seperti dengan temannya, Paman, Bibi tetangga, atau Kakak laki-laki yang sering sekali datang ke rumah, Kakak belum tentu tersenyum. Waktu berbicara dengan orang selain aku, Kakak bisa berwajah datar, keras, ramah, atau bahkan manja seperti anak kecil. Aku tidak mengerti. Kenapa hanya kepadaku Kakak selalu menjaga senyumnya ketika berbicara?
(Bagian ini akan ada di halaman lain dalam blog ini)
“Kak, berarti aku tidak bisa seperti Kakak ya?” aku berusaha menyempatkan bertanya sebelum Kakak pergi. Karena aku tahu, aku baru bisa berbicara dengan Kakak seperti ini paling cepat satu mingggu lagi. Aku belum paham sepenuhnya, tapi Kakak sering memberitahuku dengan penuh kata maaf, bahwa ia tidak bisa selalu menemaniku di rumah, sebab selain harus menyelesaikan kuliahnya ia harus bekerja sambilan. Kata kakak, itu juga demi kebaikanku. Tapi tetap saja, aku belum mengerti. Karena kalau Kakak memang baik kepadaku, seharusnya ia setiap hari di rumah menemaniku, tidak meninggalkanku di rumah Bibi Muslimah seperti ini. Tapi meskipun begitu, aku tidak pernah bisa menyebut Kakakku sebagai orang jahat. Kakakku baik.
“Apanya, Dek?” Kakakku menjawab sambil merapikan tasnya dan sesekali melihat jam tangan.
“Seperti Kakak, diajak Ayah ke sekolahnya untuk melihat acara pemberian hadiah?”
Kakak langsung berhenti dari semua hal yang menyibukkannya tadi. Tidak seperti pertanyaan-pertanyaanku tadi yang mampu ia jawab dengan cepat, pertanyaanku kali ini membuatnya berpikir panjang. Bahkan, perlahan ia mulai menunduk.
“Kak?” Aku perlahan mendekat. Aku melihat ada setetes air menetes ke salah satu bukunya. Aku langsung menghentikan langkahku. Kakak menangis.
Kenapa Kakak menangis? Apakah aku menanyakan sesuatu yang salah? Apakah Kakak menangis gara-gara aku? Kakak jarang sekali menangis.
Aku tidak mengerti. Aku hanya diam, dan memutar pandangan ke ruangan kecil tempatku tidur, kadang bersama Kakak kalau Kakak sedang libur. Lalu aku melihat pigura kecil di atas meja belajarku. Pigura yang diletakkan Kakak 2 tahun lalu, bersama foto di dalamnya. Di situ terlihat Kakak sedang memelukku, dan kami berdua dipeluk oleh…
Ayah.
Akhirnya aku tahu kenapa. Aku sudah tahu alasannya. Alasan kenapa ia, Kakak, sampai menangis. Serta jawabannya, jawaban pertanyaanku sendiri. Jawabannya, alasannya.
Adalah karena Ayah sudah tiada.