Menulis tentang Indonesia adalah satu hal yang tanpa saya sadari sudah berulang kali saya lakukan. Dari tugas bahasa Indonesia SD, esai kompetisi, beberapa naskah pidato, atau sekadar selingan blog. Nyatanya, esai pertama saya adalah tentang kemerdekaan Indonesia, yang saya tulis ketika kelas 4 SD dan masih ada wujudnya sampai sekarang. Esai itu, hingga tulisan-tulisan berikutnya tentang Indonesia semasa saya kuliah, jika dibariskan akan seperti gradasi yang menggambarkan sejauh mana saya memahami dan memaknai Indonesia. Dari bocah naif yang ingin mengubah Indonesia, sampai remaja realistis yang mencari tahu –dan kini sudah tahu, di mana porsi mungil tempat dia bisa berkontribusi untuk Indonesia.
Bagian terbaik dari menulis adalah membuat kita berpikir. Dan menulis tentang Indonesia selalu dapat membuat saya berpikir tentang 2 hal: Indonesia dan segala macam permasalahannya yang terbaru, serta alasan kenapa saya lahir di negeri ini, terharu. Bagian pertama selalu berubah-ubah, tetapi bagian kedua selalu berulang tanpa pernah terjawab dengan terang. Ibarat ketika kita dilahirkan, kita tak punya kuasa memilih garis keturunan, tapi sampai mati kita menanggung pertanggungjawaban. Momen ketika ibu berdarah-darah melahirkan kita, kita memulai hidup dengan menjadi bagian dari keluarga beliau, dan sejak hari itu pula kita punya tanggung jawab sedarah untuk berbakti.
“You find out you were out of the loop when the most crucial events in your life were set in motion.” – Michael Fassbender in Steve Jobs (2015).
Sedikit banyak hal ini analog dengan bagaimana kita mengawali hidup di negeri ini, yang mana kita tak ada kuasa memilih di belahan bumi mana kita hadir di dunia, jika bukan di tanah ini. Lantas, jika kita lahir di tanah Indonesia, apakah maka kita harus cinta mati kepadanya, sebagaimana kita cinta kepada bapak ibu kita? Boleh jadi iya. Tapi sebatas ‘boleh jadi’. Sebab seringnya ini yang menjadi persoalan.
Pendidikan kita bertahun-tahun melatih kita untuk cinta tanah air. Sementara di Indonesia yang unik ini, doktrin1 cinta negara sama pentingnya dengan doktrin1 cinta agama. Meski seharusnya keduanya bisa saling melengkapi2, nyatanya banyak pihak yang menganggap hanya salah satu yang patut dihargai. Sampai kadang kita dibingungkan bagaimana mendulukan cinta negara dan agama, yang akhirnya berujung pertikaian antara mereka yang cinta negara dengan mereka yang cinta agama bertebaran di mana-mana. Menyedihkan: membuat (saya) sedih.
1Hampir tak ada yang salah dengan doktrin. Paham “mencuri itu buruk” dan “mencuri itu baik” sama-sama bisa ditanamkan melalui doktrin. Maka yang bisa baik atau buruk adalah nilai yang ada di doktrin, bukan doktrinnya. Meski di lain pihak juga saya belajar bahwa ada metode yang lebih baik untuk menanamkan nilai, selain doktrin. |
2Setidaknya saya sempat menghabiskan waktu 4 tahun di masa sekolah dan kuliah saya, mengikuti puluhan ruang diskusi dan belajar dari orang bijak, untuk memahami konsep ini. Meski sebagian masih menjadi ganjalan, yang paling melegakan dari dialektika panjang tentang perdebatan antara negara dan agama tersebut adalah: Islam yang saya yakini pada sarinya adalah nilai yang universal, yang punya relevansi untuk siapa saja, dalam konteks apa saja, termasuk kita dalam bernegara.Mari berdiskusi supaya kita paham banyak sisi 🙂 |
Saya akan berhenti untuk membicarakan soal agama dalam konteks negara ini. Bukan saya orang yang tepat. Maafkan bila terlalu jauh, saya mungkin hanya mengeluh, sebab ini adalah tulisan tanpa kerangka, kalimat mengalir seperti berhitung angka. Tapi saya akan sangat menghargai jika di antara kalian ada yang berkenan mengajari saya tentang hal ini.
*
Kembali ke soal cinta tanah air, ada satu hal lagi yang selalu mengganggu kepala saya. Rasa cinta kita kepada negeri ini kadang begitu kuat, sampai-sampai jadi cinta buta. Keluaran dari perasaan yang demikian paling tidak ada dua hal: yang pertama adalah kita jadi suka mengklaim buta bahwa diri kita yang paling baik, sementara yang kedua adalah kita jadi gampang membenci pihak luar yang bukan bagian dari kita.
Untuk poin pertama, contohnya bisa kita temui di banyak bacaan atau siaran yang tujuannya sebenarnya baik: membuat kita bangga akan Indonesia. Tapi konten-konten itu, yang biasanya berisi tentang ulasan kekayaan Indonesia yang nomor wahid sedunia, efek sampingnya adalah membuat kita berpuas diri. Membuat kita merasa jadi negara yang dibangun di atas kekayaan tanah terbaik di dunia, dan mengerdilkan negeri-negeri lain di bawah, yang tak seberuntung kita.
Andaikata saya dituntut mengatakan bahwa Indonesia ini adalah negeri terbaik, saya tak akan. Sebab nyatanya memang saya belum pernah mengunjungi seluruh 200-an negeri di dunia ini, untuk berani mengajukan kesimpulan sebegitu besar. Meski begitu, saya bisa dengan yakin menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negeri terbaik, sebab saya mengenal betul apa saja masalah yang sedang dihadapi negeri ini: kemiskinan, pendidikan, sampai korupsi triliunan.
Tapi saya juga tak akan malu untuk mengaku bahwa saya adalah seorang Indonesia, sebab saya juga tahu apa saja kebahagiaan yang telah diberikan negeri ini kepada saya. Kepada kita.
Untuk poin kedua, ada analogi logika keliru seperti ini yang kadang muncul di antara supporter olahraga: karena kita cinta tim yang kita dukung, maka selain tim yang kita dukung adalah musuh, dan konsekuensinya adalah kita benci. Dan malangnya, masih ada saja yang membenarkan logika tersebut dalam mencintai tanah air ini. Bunyinya seperti, “Saya cinta Indonesia, dan saya akan membelanya sepenuh jiwa, melawan semuanya.”
Bukan begitu.
Kita sama sekali tak cukup alasan untuk membenci negeri lain, hanya karena kita cinta pada negeri ini.
Malahan, energi nasionalisme yang melimpah ruah itu tak benar jika diwujudkan dalam wujud kebencian. Benci adalah energi untuk menjatuhkan pihak lain. Tapi kita tak lagi sedang berperang. Itu sebabnya kita tak punya cukup alasan lagi untuk membenci negara lain, lalu mengangkat senjata untuk menghancurkan, seperti pahlawan kemerdekaan. Kita sudah tak lagi berperang, tapi kita sedang beralih ke jenis ‘perang’ yang lain. Kita sedang berlomba. Kita Indonesia berjajar dengan negara-negara lain yang sudah merdeka, hidup bukan lagi untuk menjajah kehidupan lain, tapi sedang hidup untuk mewujudkan kehidupan terbaik dari yang lain. Sekali lagi, bukan peperangan, tapi perlombaan. Ini sangat penting, sebab dua pemahaman ini punya dasar niatan dan konsekuensi hasil yang sangat berbeda.[1] Coba bandingkan:
Jika pengertian kita tentang cinta tanah air ini salah arti dengan konteks kekinian, sepertinya kita harus merenung lagi apa yang sedang kita perjuangkan.
*
IndoneSWAG – Indonesia 2045 yang Swag
Sebelumnya, saya ingin menjelaskan dulu kenapa judul tulisan ini adalah IndoneSWAG. Cukup penting diterangkan agar istilah swag yang saya maksud tak salah asosiasi dengan istilah lain yang miring. Sederhananya ini adalah sekadar permainan kata, untuk membayangkan gagasan tentang Indonesia yang keren di masa depan. Indonesia yang swag, disingkat IndoneSWAG, sebab istilah swag sudah jadi bahasa informal untuk menyebut perangai seseorang yang percaya diri.
Tujuan semula tulisan ini adalah dua hal: tentang latar belakang dan tujuan = tentang menengok ke belakang dan memandang ke depan = tentang niatan dan impian = membagi tentang apa yang saya pahami tentang cinta tanah air, serta membagi harapan tentang Indonesia di masa depan, apa yang bisa dilakukan.
Nah, setelah di atas kita menyamakan definisi niatan kita tentang cinta tanah air ini, bahwa rasa cinta kita adalah untuk kemajuan bukannya mendominasi yang lain, maka berikutnya kita bicara soal perbuatan.
Ketika membicarakan tentang masa depan Indonesia, konsep populer yang kini muncul adalah tentang Indonesia 2045. Tahun di mana Indonesia nantinya genap berusia seabad.
Sebenarnya saya masih bertanya-tanya kenapa harus menunggu satu abad. Banyak negara yang tak menunggu satu abad untuk jadi negara maju atau makmur jika dihitung dari hari lahir mereka, seperti Singapura, Korea Selatan, Uni Emirat Arab dan Qatar. Lantas kenapa Indonesia menaruh harapan di usia 100 tahun, instead of berusaha maju secepat-cepatnya? Dari apa yang saya telusuri, saya belum menemukan jawaban yang memuaskan, tetapi pada umumnya patokan tahun 2045 tersebut adalah hasil kalkulasi bahwa dengan tren kemajuan ekonomi, teknologi dan sosial-politik yang ada sekarang, Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi-politik terbesar ke-4 di dunia di kisaran tahun 2045 itu. *Jika kalian punya keterangan yang lebih akurat, mohon bagikan kepada saya, saya ingin belajar.
Pertanyaan “kenapa” di atas lah yang mendorong saya untuk menyusun tulisan yang seharusnya bisa mengulas bagaimana pencapaian negara-negara lain di usia yang sama 72 tahun kemerdekaan ini. Agar orang tahu, apa pencapaian terbaik yang bisa digapai sebuah negara di usia 72 tahun, dan sejauh mana Indonesia sudah ke arah sana di usia yang sama ini.
Tapi saya kesulitan untuk menemukan data-data perbandingan yang bisa membuat Indonesia disandingkan dengan Singapura atau Korea Selatan, untuk dianalisis perbandingan secara obyektif dan fair. Perbedaan konteks perjalanan sejarah masing-masing negara yang jadi alasan. Tapi saya keluar dengan perbandingan lain yang “sama sekali tidak ada hubungannya” tapi bisa jadi penjelas untuk hal lain: usia perkembangan Indonesia jika dibandingkan/dianalogikan dengan usia manusia rerata.
Saya sadar analogi di atas sama sekali tidak ilmiah. Tetapi bukankah fungsi sebuah analogi adalah untuk membantu kita menyederhanakan dan memahami sesuatu? Dan kesamaan proses perkembangan Indonesia sejak merdeka dengan proses perkembangan manusia sebagai pribadi, terlalu menarik untuk diabaikan.
Yang ingin saya gambarkan adalah bahwa dalam tahapan perkembangan manusia secara umum, seseorang akan melalui 4 tahapan di mana ia menghabiskan hampir separuh waktu hidupnya untuk mematangkan diri, baik secara fisik maupun pengalaman, untuk kemudian di paruh terakhir hidupnya dia bisa hidup bijak dan mengamalkan hasil belajarnya untuk membantu orang lain dan membangun lingkungan. Jika periode sosial-politik Indonesia dapat dibagi ke dalam 4 tahapan yang sama seperti ilustrasi di atas, maka kini kita tengah menyongsong tumbuhnya Indonesia yang bijak. Sebab Indonesia telah melewati tiga tahapan pertama di mana ia belajar, mengembangkan diri, serta mengumpulkan kekayaan pengalaman sebagai sebuah negara. Maka kita kini sedang di ambang Indonesia memasuki tahapan paripurna (?), di mana Indonesia yang telah melalui segala macam tantangan dari dalam dan luar dirinya, dan sudah bertahan sejauh ini, akan menjadi Indonesia baru yang bijaksana. *Boleh kita sebut orde keempat ini sebagai Orde Bijaksana? Saya tidak serius.
***
Orang-Orang Swag di Acara 17an di Menara
Sebagai ganti saya yang gagal menemukan materi untuk mengulik masa depan Indonesia disandingkan dengan negara maju yang lain, 17 Agustus kemarin saya menghadiri acara yang juga bertema Indonesai 2045 – “17an di Menara by KIBAR”. Di antara seats yang sangat terbatas, saya beruntung sekali untuk menerima undangan dan mendengarkan banyak keynotes dan diskusi panel yang secara keseluruhannya membahas optimisme seabad Indonesia 2045 dari beragam sudut pandang, oleh beragam perwakilan profesi dan organisasi.
Total ada 5 keynote dan 4 panel diskusi pada acara tersebut. Berikut saya ilustrasikan peta talks yang ada di rangkaian acara:
Saya tak hendak menceritakan apa saja yang dibahas di masing-masing sesi acara tersebut. Tapi jika ada petikan yang paling membekas dari rangkaian acara itu, adalah kesan penting bahwa saya sedang menyaksikan dan bertemu secara langsung dengan orang-orang yang sedang nyata bekerja. Mereka sedang bekerja di bidang keahlian yang berbeda-beda, menuju keberhasilan yang berbeda-beda, tapi disatukan di bawah payung identitas negeri yang sama.
Ada yang pengusaha kreatif, ada yang pengawas korupsi, ada jurnalis, ada olahragawan, seniman, teknolog, eksekutif startup besar, dan beberapa pimpinan NGO. Mayoritas dari mereka masih muda. Dan meskipun di antara mereka tak ada keterangan tersurat bahwa apa yang mereka kerjakan adalah upaya bersama untuk menyambut masa depan Indonesia, tapi saya yakin 28 tahun lagi ketika Indonesia benar-benar tiba di angka 2045, mereka akan bertemu lagi sebagai orang-orang yang membawa pengaruh kemajuan di masing-masing bidang, di Indonesia. *Dan alangkah dungunya saya jika saya tak ikut ambil bagian, sekarang.
Di Mana dan Jadi Apa Saya di 2045
Di 2045 kelak kiranya saya sudah menua menjadi seorang bapak di usia menjelang 50 –jika saya masih diberkahi umur serta kesehatan, Amin. Dan rencana saya menuju ke sana tidaklah rumit: masih cita-cita saya yang sama sejak kecil untuk menjadi seorang akademisi, peneliti. Cita-cita utamanya tidak berubah, tapi cita-cita pendukungnya yang selalu berkembang sejalan dengan saya belajar. Jika dulu impian menjadi akademisi adalah simply karena kekaguman saya kepada para ilmuwan dan pemikir yang karya-karyanya saya baca, kini saya menetapkan impian tersebut dengan definisi yang lebih terang tentang akan saya gunakan untuk apa jabatan tersebut kelak. Manfaat apa yang bisa saya berikan dengan karir itu nanti.
Serta untuk kalian yang membaca hingga baris terakhir ini, saya mendoakan agar kita semua bisa diberi berkah usia untuk menyaksikan Indonesia merayakan kemerdekaan untuk yang ke-100 kalinya. Untuk menyaksikan terwujudnya janji besar kemajuan bangsa ini di usia seabadnya. Untuk menepati janji besar kita semua untuk memberi sumbangsih kepada negeri ini.
Pembicara Acara 17an di Menara
[1] I guess some of you will disagree with me. I appreciate that. But one thing that I want to point out is not the labelling of this spirit of nationalism. I just want to spread the love of this country through positive energy, not the opposite of it.