25 Mei 2017, tepat sehari sebelum Ramadhan. Di tengah rimbun hutan yang cukup dalam di gunung Burangrang, Purwakarta, dengan segala kesederhanaan, 42 orang Pengajar Muda Angkatan XIV dilantik dalam upacara paling syahdu yang pernah saya saksikan.
***
Pagi masih gelap ketika rombongan yang saya ikuti tiba di pos desa Pasanggrahan, kecamatan Bojong, kabupaten Purwakarta. Turun dari mobil, singgah di salah satu rumah penduduk setempat, minum segelas teh hangat, kami melanjutkan perjalanan menyusuri setapak sawah-sawah dan rimbun hutan yang cukup panjang untuk tiba di lokasi upacara.
Sekitar pukul tujuh kami tiba di tenda panitia, kami disambut roti lapis dan senyum hangat dari mereka yang sudah lebih dulu beberapa hari berada di sana, bermuka lelah tapi ekspresi tetap ramah.
Tak berselang lama, keempat puluh dua orang itu datang secara berbaris dan merapikan diri dalam posisi upacara. Melihat wajah-wajah mereka yang berseragam lengkap, bersepatu berat, dan menggendong tas carrier penuh setinggi tengah badan masing-masing, tampak jelas wajah lelah yang tak bisa disembunyikan. Mereka adalah Calon Pengajar Muda Angkatan XIV yang akan dilantik di upacara pagi itu, agenda terakhir dari kegiatan survival. Mereka baru saja melewati 4 hari latihan bertahan hidup di hutan gunung Burangrang, lengkap dengan bermalam menggunakan bivak dan menu makan laiknya latihan militer. Latihan itu adalah salah satu dari rangkaian kegiatan satu setengah bulan pelatihan intensif, sebelum mereka diberangkatkan menuju desa-desa berbeda di pelosok Indonesia.
Dalam segala kesederhanaan, upacara itu pun dimulai. Dengan khidmat kami mendengarkan hikmah amanat upacara oleh Bapak Hikmat Hardono, selaku pembina upacara. Hingga kemudian protokol upacara tiba di penghujung, bendera merah putih raksasa dibentangkan dari belakang barisan dan memayungi keempat puluh dua Pengajar Muda. Mereka menerima ikrar mereka sebagai Pengajar Muda, yang selama setahun ke depan mengemban amanah di desa-desa di pelosok Indonesia untuk mengajar dan bekerja lebih, membantu majunya pendidikan.
Kemudian dirigen kembali di depan, memimpin kami menyanyikan lagu Bagimu Negeri dengan suara rendah. Satu per satu mereka maju, memegang ujung bendera merah putih yang ditegakkan, dan dengan lantang meneriakkan, “Saya siap mengabdi untuk Indonesia! Indonesia! Indonesia!”, disambut oleh penyematan lencana Pengajar Muda dan jabat tangan pembina upacara. Mereka resmi menjadi Pengajar Muda.
Tepat pada momen itu, mungkin mereka mulai mengingat bahwa 2 bulan sebelumnya hampir semua dari mereka sama sekali tak saling kenal. Satu setengah bulan yang lalu adalah kali pertamanya mereka bertemu. Kemudian menghabiskan 6 minggu penuh, tanpa sehari pun terlewat, tinggal dan belajar bersama-sama. Sudah jadi sahabat dan saudara. Lalu tiba-tiba upacara pagi itu menandai akan berpisahnya mereka, terbang ke daerah berbeda, yang boleh jadi berada di satu ujung dan ujung yang lain dari Indonesia.
Masih dengan iringan rendah Bagimu Negeri dan seruan pengabdian setiap Pengajar Muda, mulai terdengar suara isak beberapa orang. Tangis haru sudah tak tertahan lagi.
Matahari mulai naik dari balik pepohonan, menerangi satu demi satu wajah mereka yang berseru maupun yang terharu. Mungkin itu jadi metafora, bahwa dengan terbit-meneranginya matahari pagi itu, sedang terbit-untuk-menerangi pula perjalanan mereka selama satu tahun ke depan di desa-desa penempatan. Tapi bisa saya pastikan bahwa melihat pemandangan haru mereka orang-orang yang sedang berjuang ketika itu, meningginya matahari yang mengusir dingin subuh menjadi hangat pagi, benar-benar sampai ke hati, sama sekali bukan metafora.
*
Setelah genap pelantikan keempat puluh dua Pengajar Muda, kami rombongan dari Jakarta bergantian untuk menyalami mereka satu per satu. Memberi selamat, doa, dan semangat. Berkali-kali saya mengingatkan diri saya sendiri, bahwa orang-orang yang berdiri di hadapan saya ketika itu bukanlah orang-orang biasa. Dari puluhan juta pemuda di Indonesia, jutaan di antaranya punya kepedulian dan mengambil tindakan untuk pendidikan, dan dari sebagian yang punya kesempatan, sepuluh ribu lebih dari mereka melamar menjadi Pengajar Muda XIV, melewati seleksi, hingga 42 yang terbaik dari mereka sedang berdiri di hadapan saya. Adalah sebuah kehormatan untuk menjadi saksi awal perjalanan orang-orang itu.
Saya pikir, sangat disayangkan bahwa momen seperti itu di publik tak banyak menjadi perhatian. Tanpa upacara mewah atau besarnya liputan, berkumpul 42 orang di sebuah hutan. Mereka orang-orang biasa seperti kita kebanyakan. Sebagian ada yang baru lulus pendidikan, sebagian yang lain ada yang mengundurkan diri dari pekerjaan. Tapi demi kesempatan untuk melatih kepemimpinan dan membantu anak-anak di pedalaman, waktu satu tahun pun diluangkan.
Jika pengorbanan mereka yang seperti itu tak mampu menggerakkan hati seseorang untuk ikut ambil bagian, sekecil apapun dengan sama baiknya niatan, saya tak tahu lagi apa yang sanggup membangkitkan.
Mereka alasan saya membuat satu lagi janji, bahwa saya akan mengabadikan momen itu. Agar cerita mereka dapat diteruskan dan disimak orang lain. Maka untuk kalian yang membaca sampai ke baris ini, terima kasih telah membantu saya melunasi janji.
*
Ketika upacara selesai dan saya ikut kembali ke Jatiluhur, saya sadar momen itu menjadi satu lagi alasan yang menjadikan paruh pertama 2017 kemarin adalah semester terbaik.
Tentang Pengajar Muda: Sama Sekali Tak Sekadar Mengajar
Dalam beberapa paperwork dan riset yang saya kerjakan selama di Indonesia mengajar –berikutnya kita sebut saja IM, membuat saya punya kesempatan untuk membaca jurnal-jurnal Pengajar Muda yang dikirimkan mereka dari banyak daerah di Indonesia. Kesan pertama yang saya dapatkan dari catatan-catatan mereka adalah: mereka sama sekali tak sekadar mengajar, meski gelarnya Pengajar. In fact, setelah saya pelajari, tugas mereka adalah 3: interaksi dengan siswa, guru, dan kepala sekolah; pengembangan masyarakat; dan pelibatan daerah –dengan tujuan panjang mewujudkan perubahan perilaku. Dari segi ruang lingkup, tugas mereka bekerja mulai dari tingkat sekolah, desa, kecamatan, hingga kabupaten.
Dalam salah satu obrolan di kantor, konon nama Pengajar Muda memang by design dipilih dengan falsafah utama kerendahan hati. Sejak awal rancangan tugas mereka memang lebih dari sekadar jadi guru, tetapi juga memfasilitasi gerakan pendidikan di daerah. Tapi sebutan “fasilitator”, “instruktur”, atau istilah profesional lain akan sangat tak membumi bagi orang-orang di pelosok daerah. Maka dipilih lah nama Pengajar Muda, sebutan yang membawa kesan sederhana, agar memperdekat jarak dan mempermudah proses interaksi. Tak jarang juga para PM ini di daerah simply dipanggil Pak Guru atau Bu Guru *smiley face*
Tapi niatan mereka bukan tanpa tantangan dan hambatan. Paling tidak tantangan yang selalu ada bagi para PM adalah medan menuju desa penempatan. Di setiap laporan, butuh waktu belasan jam –bahkan ada yang lebih dari 20 jam, untuk sampai di desa penempatan dari bandara atau ibukota kabupaten terdekat. Itu pun tak ditempuh dengan mobil dan jalan yang layak, tapi sebagian besar harus berpindah dari mobil, ojek motor; termasuk mereka yang desa tujuannya berada di pulau jauh, harus ditempuh menggunakan kapal selama berjam-jam; atau mereka yang desanya berada di balik pegunungan, yang harus berjalan kaki sampai-sampai kaki melepuh atau menggunakan pesawat lokal yang tak memiliki tempat duduk dan tak terjadwal. Sementara begitu tiba di sana, bahkan provider telekomunikasi terbaik pun tak memiliki jangkauan sinyal cukup baik untuk berkomunikasi.
Tak cuma beratnya medan jalan, beberapa PM ada pula yang harus menghadapi konteks sosial yang tidak mendukung. Sebagian kisahnya, ada salah satu PM yang di desanya sedang terjadi konflik antarsuku, atau PM lain yang terpaksa untuk dievakuasi karena masalah tertentu. Mungkin deskripsi saya tak bisa mendetail, tetapi poin yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa tugas mereka di daerah benar-benar sangat berisiko. Hal ini belum menghitung adanya potensi penyakit tertentu karena sanitasi dan fasilitas kesehatan yang masih sangat terbatas. Keterampilan dan mental mereka untuk bertahan benar-benar diuji di sana.
*
Meski demikian, ada saja dorongan yang membuat mereka bertahan. Selalu ada cerita dan kabar baik dari jurnal-jurnal mereka yang saya baca. Cerita tentang mereka yang mendapatkan teman dan keluarga baru –literally keluarga baru, yang menaungi mereka selama setahun di penempatan; cerita tentang perubahan perilaku siswa didik yang semakin membaik; sampai cerita tentang sambutan dari para pelaku pendidikan di daerah yang kooperatif untuk bekerja bersama. Dan tak cuma cerita, jurnal-jurnal para PM juga membagikan foto-foto luar biasa indah dari desa-desa mereka. Ada yang desanya di tepi pantai; ada yang desanya dibentengi pegunungan; ada yang desanya terapung; dan ada yang desanya berada di perbukitan dengan cakrawala hijau hutan, biru langit, dan bening sungai.
Foto terindah yang pernah saya temukan adalah dari salah satu PM di Papua, foto desa di malam hari, dengan latar belakang langit malam bening yang masih suci dari polusi, menampakkan ribuan bintang-bintang sepanjang lengan galaksi Bimasakti.
Untuk menyimak lebih lengkap satu per satu kisah-kisah mereka, kalian bisa membukanya di indonesiamengajar.org/pengajar-muda
Angkatan XIV
Kali pertama saya bertemu dengan angkatan ini adalah ketika mereka berkumpul pada 17 April 2017 di joglo Senayan Bawah, kantor Indonesia Mengajar. Bertemu wajah-wajah mereka yang penuh semangat meski ada yang baru saja terbang berjam-jam sejak berangkat. Kalau tidak salah itu juga kali pertamanya mereka saling bertemu, jadi saya bisa merasakan bagaimana keramahan mereka mulai berteman satu sama lain.
Angkanya adalah 10.213 –jumlah pelamar yang mendaftar sebagai Pengajar Muda Angkatan XIV, dan akhirnya 42 orang yang terpilih untuk berangkat. Rasio yang impresif, sebab seorang calon PM harus melebihi 99,6% yang lain untuk menjadi 0,4% teratas agar terpilih –melalui proses rekrutmen online, manual scoring, hingga direct assesment. Dan tak hanya impresif, tapi angka itu juga jadi angka yang sangat optimis, sebab di luar sana berarti ada setidaknya 10 ribu lebih pemuda berkesempatan yang punya semangat untuk membantu majunya pendidikan di Indonesia.
Keempat puluh dua orang itu datang dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang sarjana dan ada yang sudah S2. Ada yang baru lulus dan ada yang sebelumnya sudah punya pekerjaan bagus, tapi tak semua keluarga/orang terdekat mereka memberi restu dengan mulus. Mungkin juga sebagian dari kita bisa bayangkan, sebenarnya apa yang mereka pikirkan? Mereka bisa dibilang adalah di antara sarjana terbaik, punya prestasi di atas rata-rata, dan ada banyak jejaring untuk berkarya yang lain; tetapi mereka memilih untuk meninggalkan semuanya untuk punya kesempatan hidup di daerah terpencil, mengajar anak-anak kecil. Jika bukan itu yang namanya pengorbanan, saya tak tahu lagi definisi yang lain.
Mereka memiliki setiap alasan untuk tinggi hati, tapi mereka memilih untuk belajar hidup dengan rendah hati.
*
Setelah siang itu mereka disambut-datang, berbagi perkenalan dan bermain bersama untuk mengakrabkan, mereka berangkat ke tempat pelatihan yang menjadi rumah mereka selama satu setengah bulan berikutnya. Lokasinya berada di komplek Wisma Indosat, menghadap langsung ke waduk Jatiluhur yang selalu indah dari subuh hingga matahari bersauh.
Dalam beberapa kali kesempatan, saya mengikuti rombongan pengisi sesi pelatihan ke tempat mereka di Jatiluhur. Cukup sering, hingga saya tak melewatkan momen-momen terbaik mereka. Dari minggu ke minggu berkunjung, saya melihat bagaimana ikatan mereka sebagai sesama PM semakin menguat, jauh berbeda dari kali pertama bertemu di Jakarta. Saya melihat bagaimana mereka dilatih pedagogi serta bekal-bekal ilmu yang lain secara andragogi, termasuk latihan mereka mengajar dengan metode kreatif.
Lebih dari itu semua, saya menyaksikan banyak momen-momen emosional dalam proses pendidikan mereka selama di Jatiluhur. Saya menjadi saksi saat mereka bernyanyi riang dan bersenang-senang; saat mereka tertawa terbahak di sesi yang kocak; saat mereka bersuka ria di malam sandiwara; saat mereka berteriak ketakutan di adaptasi kebudayaan; hingga saat mereka menangis tersedu sedan di pengumuman penempatan.
*
Tapi yang paling saya sesali adalah saya yang tak sempat ikut melepas mereka di bandara.
Di joglo tempat mereka berkumpul kali pertama, 30 Mei 2017 mereka berkumpul lagi untuk kali terakhir –sebelum malam harinya diberangkatkan. Hampir semua officer IM memberikan pesan-pesan mendalam untuk keberangkatan mereka. Mendengar satu demi satu pesan pelepasan itu, justru membuat saya membayangkan. I couldn’t help but think. I mean, how will it feel like? To be on a very remote location for a year, far away from they used to be. What will it do to someone, physically and psychologically?
Saya sudah mengalami rasanya merantau, jauh dari keluarga dan teman lama. Tapi merantau ke kota di mana semua fasilitas lengkap dan komunikasi mudah, tentu akan sangat berbeda dari PM yang merantau di pedalaman, serba minim fasilitas dan akses. Sebesar apa perubahan mereka setahun ke depan, ditempa di keadaan demikian? Yang saya tahu niatan mereka adalah berlatih kepemimpinan.
Di malam pelepasan ketika itu saya tak ikut menyampaikan pesan-pesan. Tapi jika waktu itu berkesempatan, saya ingin mereka tahu bahwa mereka telah memberi teladan.
Bahwa kesempatan untuk mengenal mereka, melihat mereka belajar bersama, hingga mereka terbang ke penjuru Indonesia; keberanian mereka telah membekas dalam diri saya.
Baca Bagian 1 – Intro
Baca Bagian 3 – GIM