Namanya Ilma. Ia adik pertama dan satu-satunya dari kakaknya, yang juga adalah putri dari istri adiknya suaminya ibu kakakku! Itu artinya, Ilma itu sepupuku anaknya pamanku! Hehe
Sekarang ia tinggal di Riau. Waktu liburan SMA, aku menghabiskan 3 minggu di rumahnya. Saat itu, seingatku ia masih kelas 1 SMP. Itulah kali pertama aku mulai mengenal satu-satunya sepupu dekatku itu. Cerita tentang ini ada sendiri, tetapi bukan itu yang ingin kubagi.
Niatku ke sana memang berlibur, tapi ternyata 3 minggu itu waktu yang terlalu lama untuk berlibur, setidaknya buatku, yang biasanya cukup puas dengan liburan sehari, hehe. Hari pertama di sana, aku diajak berkeliling ke tempat-tempat yang terdekat. Hari kedua, barulah aku diajak berkeliling seharian ke tempat-tempat yang pamanku sebut ‘tak ada di Jawa’. (Waktu itu dalam hati kujawab, “Yaiyalah nggak ada di Jawa, lha ini kita di mana?)
Hari ketiga aku kelelahan, hanya tidur-tiduran sampai siang. Hari keempat, pamanku kembali bekerja, yang baru kusadari bahwa kemarin lusa ia menemaniku bermain dengan mengambil jatah cutinya sehari. Hari kelima tak ada bedanya, dan barulah kusadari aku menjadi pengangguran di rumah ini. Hari keenam dan ketujuh pun sama, aku menjadi pengangguran yang menumpang tinggal di rumah orang! Sampai akhirnya, sebelum genap seminggu aku menjadi pengangguran, kuputuskan untuk melakukan sesuatu.
Melakukan apa? Ternyata aku memilih untuk mencoba membantu Ilma belajar. Karena kulihat, ia anak yang tekun sekali bersekolah. Ia disiplin berangkat pagi, bahkan tak lupa ia mencium tanganku setiap hari. Sore hari membantu ibunya menjahit, dan malam harinya ia kembali belajar, sendirian di ruang tamu. Seminggu ini aku hampir tak pernah berbicara lama dengannya, tapi kuputuskan malam ini untuk mencoba membantunya, setidaknya untuk 2 minggu ke depan.
*
Malam itu aku berhasil! Ternyata ia anak yang sangat ramah dan terbuka. Aku mengajarinya beberapa pelajaran aljabar. Esoknya, kami belajar biologi, lusa fisika, kimia dan seterusnya. Setelah itu, berangsur-angsur ia berani membagi cerita sekolahnya padaku. Kadang ia cerita bagaimana ia punya masalah dengan sahabatnya di sekolah, saingan belajarnya, guru-guru baik dan jahat, yang seringnya berhasil membuatku tertawa dengan caranya bercerita.
Di hari kesepuluh, aku menyadari bahwa kesukaan Ilma bercerita tak berbeda denganku, bahkan mungkin lebih baik. Lalu aku bertanya padanya, apakah ia pernah menulis, ia jawab pernah, tetapi sebatas mengarang di tugas-tugas pelajaran Bahasa Indonesia. Maka kuberitahukan padanya, bahwa ketika ia senang bercerita, ia bisa menghasilkan sesuatu yang lain lebih daripada ia hanya menyimpan itu sendiri. Aku mendorongnya untuk menulis.
Tapi ternyata ia enggan menulis. Banyak sekali alasan ketika kuberikan motivasi-motivasi menulis itu, entah karena tidak ingin berbagi, tidak bisa, sulit dan macam-macam lain. Aku berusaha seperti itu terus, setiap pagi ketika ia berpamitan sekolah padaku, ketika sore ikut membantu Bibi menjahit bersamanya, ketika malam menemaninya mengerjakan PR. Tapi ia tetap tak mau. Di hari kedua puluh, aku menyerah. Dan esoknya, aku harus pulang.
*
Entah kenapa, rasanya aku lebih dari sekedar mendapatkan liburan di rumah ini, meskipun hampir 20 hari kuhabiskan waktuku di rumah daripada keluar dalam 21 hari liburanku di sini. Saat pulang, aku mendapatkan 3 barang yang berbeda: pelukan dari Paman, kecupan kening dari Bibi dengan sebungkus besar oleh-oleh, dan selipat kertas dari Ilma. Tapi Ilma berpesan padaku untuk hanya membuka lipatan itu setibanya di rumah. Lipatan yang membuatku tak sabar tiba di rumah, dan melupakan 21 hari liburanku di sana.
Maka, setibanya di rumah, setelah disambut gembira oleh seisi rumah dan menyerahkan oleh-oleh yang kubawa, aku langsung ke kamar, mengatakan ingin istirahat setelah perjalanan jauh, menutup pintu, membuka lipatan kertas dari Ilma.
Itu hampir 5 tahun lalu, ketika aku melihat tulisan dengan huruf-huruf mungil rapi berderet sepanjang kertas folio, dan terbaca:
(…)
Aku sama sekali tak punya pengalaman menulis tema seperti ini. Tapi karena ingin memperagam isi blog ini, dengan seizin Ilma (nanti belakangan, hehe), kuketikkan tulisan Ilma 5 tahun lalu itu di sini.
Aku punya seorang sahabat, namanya Ilmi. Kami berteman sejak SD, bahkan Ibu bilang kami sudah berteman sejak masih bayi karena Ibuku dan Ibu Ilmi sering antri bersama di Posyandu, lalu saling mengenalkan kami. Ibu juga bilang, yang membuat kami menjadi sahabat adalah karena nama kami sama. Tidak hanya mirip, nama kami dalam bahasa Arab memang memiliki makna yang sama. Di sekolah, kami selalu menghabiskan waktu istirahat bersama. Ketika ada PR, kami selalu mengerjakannya bersama secara bergantian di rumahku dan rumah Ilmi. Dulu kami bersekolah di SD yang sama, dan sekarang juga di SMP yang sama. Orangtua kami sama-sama menyekolahkan kami di SD Islam dan SMP Islam. Tapi ketika aku pindah ke Riau, kami tidak pernah lagi bisa bermain dan mengerjakan PR bersama.
Aku tak pernah memiliki masalah dengan Ilmi, aku selalu senang berteman dengannya. Dia orang yang pemberani, serba bisa, kuat, pantang menyerah, bahkan tak segan untuk berkelahi membelaku ketika ada teman laki-laki yang mengganggu. Tapi aku tidak mengerti, kenapa teman-temanku malah menyebut Ilmi seperti anak laki-laki. Mereka yang tak suka dengan Ilmi menyebut Ilmi sebagai anak laki-laki, sampai itu menjadi julukan. Bahkan guru-guru di sekolah ada yang menyebut adab Ilmi tak sesuai dengan adab seorang muslim perempuan, dan sering mendapatkan teguran. Itu sebabnya Ilmi menjadi orang yang seringkali dijauhi oleh teman-teman. Tapi aku tetap mau berteman dengannya. Kadang aku memikirkan, dengan tetap berteman inilah kesempatan aku bisa membalas kebaikan-kebaikannya, seperti memboncengku sepulang sekolah, membelaku dari anak laki-laki yang suka mengganggu, bahkan kadang membukakan pintu gerbang dengan sembunyi-sembunyi dari pak satpam saat aku terlambat datang.
Teman-teman dan guru-guruku yang mengatakan Ilmi seperti itu, menurutku mereka tak mengerti dan memahami bagaimana Ilmi sebenarnya. Di mataku, ia sama sekali tak seperti laki-laki. Bahkan di antara kami siswi perempuan, Ilmi adalah salah satu anak yang tinggi semampai dengan wajah cantik. Sayangnya, ia tak suka sedikit berias muka, ketika anak-anak seusia kami sudah mulai belajar demikian. Ia tetap santai dengan penampilan seadanya. Lebih suka memakai celana, meskipun adab di sekolah dan rumah kami menganjurkan gadis seperti kami untuk memakai rok, bahkan ketika sore ia sering mengikuti anak laki-laki bermain sepakbola di lapangan kecil di dekat rumahku. Andai Ilmi bersedia sedikit saja mematuhi adab gadis di sekolah kami, dan membersihkan wajahnya dengan sedikit alat rias sederhana, pasti ia menjadi anak paling cantik di sekolah, dan tak ada lagi yang membencinya. Seharusnya ia bisa melakukan itu, untuk membuktikan bahwa ia bukan gadis berwatak laki-laki seperti yang orang bilang.
Tapi sesungguhnya ia telah membuktikan hal itu padaku beberapa minggu lalu. Mungkin hanya kepadaku. Ia curhat kepadaku tentang apa yang dirasakannya kepada salah seorang teman laki-laki kami di sekolah. Setelah Ilmi selesai bercerita, aku pun mengerti, bahwa ia pun memiliki sesuatu yang sama seperti anak perempuan seusia kami. Itu juga membuktikan bahwa Ilmi adalah juga seorang gadis yang bisa menyukai lawan jenisnya. (Tapi ini rahasia ya Mas, Ilmi tak mau aku membuka curhatannya ke siapapun, itu sebabnya kemarin-kemarin aku menolak ajakan mas Ihan untuk menulis, karena ingin menjaga rahasia meskipun aku punya cerita. Tapi sekarang aku menceritakannya, hanya agar mas Ihan bisa membaca sedikit tulisanku dan mengambil hikmah darinya, dengan syarat mas Ihan juga menjaga rahasia sahabatku ini!)
Selama Ilmi curhat itu, aku sering sekali dibuatnya tertawa karena ceritanya aneh sekali. Sepanjang ceritanya, ia sama sekali tak menyebutkan bahwa ia sedang menyukai seseorang. Aku tak melihat ia sedang menyembunyikan itu dariku, karena dalam ceritanya memang ia bersungguh-sungguh dan jujur. Malahan, ia lebih banyak menggerutu dan marah-marah sendiri ketika bercerita. Dalam ceritanya, ia bilang ia memiliki teman laki-laki yang ia kenal dari kebiasaan bermain sepakbola sore hari, padahal biasanya mereka atau kami juga saling bertemu setiap hari di sekolah.
Suatu sore, Ilmi ikut bermain sepakbola bersama anak laki-laki yang lain seperti biasanya. Ketika selesai, mereka berkumpul di dekat gawang dan minum sebotol penuh air yang masing-masing bawa, lalu pulang dengan sepeda. Ilmi terbiasa pulang paling terakhir, sebab ia harus merapikan (baca: menggunakan) kerudungnya agar ketika pulang tak dimarahi ibunya dan merapikan barang-barang lain agar tak terlihat seperti habis bermain sepakbola. Tapi sore itu, tiba-tiba ada seorang anak yang kembali sambil berteriak, “Hei! Bolaku ketinggalan. Ambilin tuh, di dekatmu. Lemparin ke sini!”
Ilmi pun mengambil bola yang tertinggal di dekat gawang, dan melemparkannya ke arah anak tadi. Hap. Anak itu menangkap bola yang dilempar Ilmi, dan berkata, “Makasih ya!” sambil tersenyum lebar, lalu memutar sepedanya dan menghilang lagi. Sejak itulah, Ilmi mengingat anak itu sedang melambai-lambaikan tangan, meminta dilemparkan bola, lalu tersenyum pada Ilmi. Ia mengingatnya pada malam hari ketika belajar, bahkan konon sampai terbawa mimpi. Kemudia ia bercerita padaku, ketika bertemu di sekolah, Ilmi jadi tak tahu kenapa, ia jadi selalu merasa aneh. Ia selalu menundukkan kepala ketika berpapasan dengan anak itu.
Ada cerita lagi, ketika Ilmi yang biasanya menjadi jagoan di kantin, membela anak-anak perempuan yang diganggu anak laki-laki dengan merampas tempat duduknya. Ilmi lalu maju ke depan kelompok anak laki-laki itu, seperti biasanya dengan pose menantang dan berteriak-teriak mengusir. Tapi ketika di sudut ia melihat anak ‘peminta lempar bola’ waktu itu, tiba-tiba ia salah tingkah dan berlari pergi. Sejak itulah reputasi Ilmi sebagai cewek berandal dipertanyakan. Ia disebut-sebut sudah tak lagi memiliki ke-tomboy-an seperti dulu, dan mulai kecut di hadapan berandal asli laki-laki.
Ilmi bahkan bercerita, suatu hari ada tugas kelompok yang membuat ia harus mengerjakannya di rumah si anak ‘peminta lempar bola’ tadi. Dan entah kenapa, sepanjang hari sebelum hari itu, Ilmi bingung sendiri, merisaukan banyak hal. Ia tak ingin terlambat, ingin bertemu dengan anak itu, tapi juga tak ingin berlama-lama di sana karena malu. Sampai akhirnya, beberapa jam sebelum berangkat, ia memanggil ibunya untuk mencarikan baju terbaiknya dan ‘bermodel perempuan’, tak seperti baju-baju lelaki seperti yang selama ini ia pakai. Ia tak tahu kenapa, dan begitu saja, ia tiba di sana, selama 3 jam mengerjakan PR sambil diam membisu dan menunduk, padahal biasanya ia selalu jadi yang paling cerewet.
Begitu, dan masih banyak lagi cerita-cerita tingkah aneh Ilmi ketika ada anak ‘peminta lempar bola’ tadi. Dan di akhir ceritanya, ia bertanya kepadaku, “Ma, aku ini kenapa sih?” Tapi aku tidak bisa menjawab karena masih tertawa-tawa. “Yaudah!” lalu Ilmi pulang dengan muka sebal lucu. Ekspresi yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Sebenarnya aku bisa menjawab pertanyaan Ilmi itu, tapi karena ia sudah terlanjur pulang, ya kuteruskan tertawa sendirian mengingat-ingat ceritanya tadi. Dia lucu sekali, seorang tomboy, yang seumur hidup lebih banyak berteman dengan anak laki-laki, berpenampilan laki-laki, bertingkah seperti laki-laki, tak pernah bersinggungan dengan yang namanya perasaan kewanitaan, tiba-tiba bercerita sejelas itu, dan masih tak mengerti apa yang sedang ia alami.
Ilmi sedang jatuh c*nta. Anak tomboy seperti dia ternyata bisa juga suka sama anak laki-laki, yang biasanya kalau tidak jadi musuh dalam permainan, pastijadi musuh asli. Tapi sayang, ia masih belajar, ia masih belum mengerti. Anak tomboy seperti dia, yang seumur hidupnya tak pernah merasakan jatuh c*nta, tiba-tiba dihadapkan gejala-gejala aneh yang tak dimengerti. Orang yang tak pernah jatuh c*nta, akan sulit menyadari bahwa ia sedang jatuh c*nta. Mungkin untuk yang pertama kali. Meskipun tanda-tandanya sudah sangat jelas ada di depan matanya.
Ilmi, semoga kamu cepat mengerti.