#stories ~ 09 Apr 2017

Cerita Jobs di Upacara Kelulusan Stanford


Jika ada audio file yang sering saya putar berulang-ulang tapi bukan sebuah musik, itu adalah rekaman pidato Steve Jobs di upacara kelulusan Stanford University. Ia diundang menjadi tamu kehormatan oleh Stanford untuk memberi pesan-pesan kepada para wisudawan yang akan memasuki awal baru kehidupan pasca kuliah. Rekaman itu menjadi pengisi telinga saya selama di kereta atau perjalanan pulang sehari-hari. Kali pertama saya genap mendengarnya, rekaman itu langsung menjadi pidato favorit saya, mengalahkan pidato Severn Suzuki di sidang PBB dan beberapa koleksi pidato Obama. Sudah 12 tahun berlalu sejak kali pertama pidato itu dibacakan, dan 2 tahun sejak saya pertama kali mendengarnya –sangat terlambat, memang.

Yang membuat pidato itu menarik adalah sebab Steve menghabiskan 95 persen isi narasinya untuk bercerita. Tak ada satupun istilah ilmiah yang rumit. Hanya bercerita. Tapi isi dari cerita itulah yang menggerakkan ribuan wisudawan dan tamu di tribun yang hadir kala itu. Ia tidak menyampaikan nasehat-nasehat kosong untuk melunasi kewajiban berbicara, tapi benar-benar pesan dari kisah asli hidup yang membawanya jatuh dan bangkit. Terlebih, pidato itu sama sekali tak disusun oleh asisten atau seorang profesional, melainkan Steve sendiri. Sebagaimana yang dikisahkan dalam biografi “Steve Jobs” oleh Walter Isaacson, Steve memang sempat mencoba keluar dari kebiasaannya yang selalu menyusun pidato peluncuran produknya sendiri, dengan meminta bantuan penulis skenario pemenang Oscar Aaron Sorkin. Tetapi setelah 3 bulan tanpa hasil, di suatu malam akhirnya ia menuliskannya sendiri hingga jadilah pidato yang akan saya bagikan di sini.

“The artful minimalism of the speech gave it simplicity, purity, and charm. Search where you will, from anthologies to YouTube, and you won’t find a better commencement address. Others may have been more important, such as George Marshall’s at Harvard in 1947 announcing a plan to rebuild Europe, but none has had more grace.” –Walter Isaacson

Ketika saya memutuskan untuk membagikan cerita pidato itu dalam blog ini, saya sempat ragu apakah sudah banyak yang melakukannya dalam bahasa Indonesia –sementara versi aslinya dalam bahasa Inggris sudah bertebaran, dan memang saya menemukan beberapa. Tetapi di sini saya coba terjemahkan pesan dan cerita tersebut secara hati-hati, dengan bantuan narasi teman saya mahasiswa sastra Inggris, dan editing dari sahabat saya yang lain yang seorang penulis.

Inilah cerita tersebut.

***

Terima kasih.

Saya merasa terhormat bisa berada bersama kalian hari ini di acara kelulusan salah satu universitas terbaik di dunia. Kenyataannya, saya tak pernah lulus dari perguruan tinggi. Dan ini adalah kesempatan terdekat saya bisa berada dalam upacara kelulusan. Hari ini saya ingin menceritakan kepada kalian tentang tiga cerita hidup saya. Hanya itu. Bukan hal besar. Hanya tiga cerita.

Cerita pertama adalah tentang menghubungkan titik.

Saya drop out dari Reed College setelah 6 bulan pertama, tetapi kemudian masih bertahan hadir selama kurang lebih 18 bulan sebelum akhirnya saya benar-benar keluar. Lantas kenapa saya keluar?

Hal itu bermula bahkan sebelum saya lahir. Ibu kandung saya ketika itu masih muda, mahasiswi yang tak dinikah, dan dia memutuskan untuk menempatkan saya untuk diadopsi. Ia memiliki keinginan yang sangat kuat bahwa saya harus diadopsi oleh lulusan perguruan tinggi, maka dari itu semuanya diatur agar segera setelah saya lahir saya akan diadopsi oleh seorang pengacara dan istrinya. Namun ketika saya lahir mereka memutuskan di menit terakhir bahwa mereka benar-benar mengharapkan anak perempuan. Maka orang tua saya, yang ketika itu berada dalam daftar tunggu, menerima panggilan di tengah malam mengatakan: “Di luar dugaan, kami memiliki seorang bayi laki-laki; apakah kalian menginginkannya?” Orang tua saya berkata: “Tentu.” Ibu kandung saya kemudian mengetahui bahwa ibu saya tak pernah lulus dari perguruan tinggi dan ayah saya tak pernah lulus SMA. Ia menolak untuk menandatangani surat-surat adopsi final. Ia hanya mengalah setelah beberapa bulan kemudian ketika orang tua saya berjanji bahwa saya akan diberangkatkan kuliah.

Dan 17 tahun kemudian saya benar-benar pergi kuliah. Tetapi secara naif saya memilih sebuah perguruan tinggi yang hampir sama mahalnya seperti Stanford, dan semua tabungan orang tua saya yang merupakan kelas pekerja, habis untuk membiayai kuliah saya. Setelah enam bulan, saya tidak bisa melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang saya inginkan dengan hidup saya dan tidak tahu bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Dan saat itu saya menghabiskan seluruh uang yang telah ditabung oleh orang tua saya seumur hidup mereka. Maka saya memutuskan keluar dan mempercayai bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pada awalnya semua memang menakutkan, tetapi ketika melihat lagi ke belakang hal itu adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah saya lakukan. Pada menit ketika saya memutuskan untuk keluar, saya bisa berhenti untuk mengambil kelas wajib yang tidak saya minati, dan mulai mengambil kelas yang jauh lebih saya sukai.

Tak semuanya berjalan indah. Saya tidak memiliki kamar tinggal, maka saya tidur di lantai di kamar teman-teman saya. Saya mengumpulkan botol Coke untuk mendapatkan 5 sen untuk membeli makanan, dan saya akan berjalan 7 mil melintasi kota setiap hari Minggu malam untuk mendapatkan sebuah makanan layak setiap minggunya di kuil Hare Krishna. Saya menyukainya. Dan segala sesuatu yang saya temukan dari keputusan saya untuk mengikuti intuisi dan perasaan saya ketika itu ternyata menjadi hal yang tak ternilai di waktu-waktu berikutnya.

Biar saya berikan sebuah contoh:

Reed College ketika itu menyelenggarakan kelas instruksi kaligrafi yang mungkin adalah yang terbaik di seluruh negeri. Di seluruh sudut kampus setiap poster, setiap label di setiap laci, semuanya ditulis dengan kaligrafi tangan yang sangat indah. Karena saya sudah keluar dan tidak memiliki kewajiban untuk mengambil kelas normal, saya memutuskan untuk mengambil kelas kaligrafi untuk belajar bagaimana cara membuatnya. Saya belajar tentang jenis huruf Serif dan Sans Serif, tentang mengatur jarak spasi di antara kombinasi huruf yang berbeda, tentang apa yang membuat tipografi yang luar biasa, luar biasa. Semuanya sangat indah, historis, detail secara artistik yang tak bisa ditangkap oleh sains, dan saya mendapati semua itu sangat memukau.

Tak satupun dari itu semua yang memiliki bahkan sekadar harapan akan kegunaan nyatanya di hidup saya. Tetapi 10 tahun kemudian, ketika kami mendesain komputer Macintosh yang pertama, semuanya kembali kepada saya. Dan kami mendesain semuanya ke dalam Mac. Itu adalah komputer pertama dengan tipografi yang indah. Jika saya tak pernah memutuskan untuk memasuki satu kelas itu ketika di kampus, Mac tak akan pernah memiliki bermacam jenis font yang spasinya diatur secara proporsional. Dan karena Windows hanya meniru Mac, mungkin bahkan tidak akan ada personal computer dengan tipografi luar biasa seperti yang mereka miliki sekarang. Tentu saja ketika itu sangat tidak mungkin untuk menghubungkan titik dengan melihat ke depan ketika saya masih kuliah. Tetapi semuanya menjadi sangat, sangat jelas ketika melihat ke belakang 10 tahun kemudian.

Sekali lagi, kalian tidak bisa menghubungkan titik-titik dengan melihat ke depan; kalian hanya bisa menghubungkannya dengan melihat ke belakang. Oleh karena itu kalian harus percaya bahwa titik-titik itu entah bagaimana caranya akan terhubung di masa depan. Kalian harus percaya pada sesuatu –entah itu firasat, takdir, hidup, karma, apapun. Karena dengan percaya bahwa titik-titik itu akan saling terhubung di jalan di depan nanti, akan memberi kalian kepercayaan diri untuk mengikuti kata hati kalian, bahkan ketika itu harus menuntun kalian untuk berpindah dari jalan yang sudah nyaman dilalui. Tapi itu semua pada akhirnya akan membuat semua perbedaan.

***

Cerita kedua saya adalah tentang cinta dan kehilangan.

Saya beruntung –saya menemukan apa yang saya cintai untuk saya lakukan ketika saya masih muda. Woz dan saya memulai Apple dari garasi orang tua saya ketika saya masih berusia 20 tahun. Kami bekerja keras, dan dalam waktu 10 tahun Apple tumbuh dari hanya kami berdua di dalam garasi menjadi perusahaan bernilai 2 miliar dolar dengan lebih dari 4000 karyawan. Kami baru saja meluncurkan kreasi terbaik kami –Macintosh –setahun lebih cepat, dan saya baru saja menginjak usia 30. Kemudian saya dipecat. Bagaimana mungkin kau bisa dipecat dari perusahaan yang kau mulai sendiri? Well, selama Apple berkembang kami mengangkat seseorang yang saya pikir ia sangat berbakat untuk menjalankan perusahaan bersama saya, dan selama kurang lebih satu tahun pertama semuanya berjalan lancar. Tetapi kemudian visi kami tentang masa depan perusahaan mulai bercabang dan suatu ketika kami saling berlawanan. Pada saat itu, Dewan Direksi berpihak padanya. Maka pada usia 30 saya keluar. Dan benar-benar keluar secara publik. Apa yang telah menjadi fokus dalam seluruh usia dewasa saya hilang seketika, dan itu sangat menyakitkan.

Saya benar-benar tak tahu apa yang harus saya lakukan selama beberapa bulan. Saya merasa saya telah mengecewakan para entrepreneur generasi sebelum saya –bahwa saya telah menjatuhkan baton ketika tongkat itu tengah diserahkan kepada saya. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan mencoba untuk meminta maaf karena telah benar-benar membuat kacau. Saya benar-benar seorang pecundang publi__k_, dan bahkan saya sempat berpikir untuk kabur dari Silicon Valley. Tetapi sesuatu perlahan mulai terbit menerangi saya –saya tetap mencintai apa yang saya lakukan. Keadaan yang terjadi di Apple tak berubah sedikit pun. Saya telah ditendang, tetapi saya tetap jatuh cinta. Maka saya memutuskan untuk memulai ulang dari nol._

Saya tidak dapat melihatnya ketika itu, tetapi ternyata dipecat dari Apple adalah hal terbaik yang bisa terjadi pada saya. Beratnya beban kesuksesan diganti dengan ringannya menjadi seorang pemula kembali, tak dibingungkan oleh apapun. Hal itu membebaskan saya untuk memasuki periode paling kreatif dalam hidup saya.

Selama lima tahun berikutnya, saya memulai sebuah perusahaan bernama NeXT, perusahaan lain bernama Pixar, dan saya jatuh cinta dengan seorang wanita luar biasa yang nantinya akan menjadi istri saya. Pixar bekerja dan membuat feature film dengan animasi komputer yang pertama di dunia, Toy Story, dan kini menjadi studio animasi paling sukses di dunia. Dalam keadaan yang tak diduga-duga, Apple membeli NeXT, saya kembali ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung dari kembangkitan Apple kini. Dan Laurene dan saya membangun keluarga bahagia bersama.

Saya sangat yakin semua itu tak akan terjadi jika saya tak pernah dipecat dari Apple. Itu adalah obat yang sangat pahit, tetapi saya rasa pasien sangat membutuhkannya. Seringkali hidup akan memukulmu tepat di muka dengan batu bata. Jangan sampai kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa apa yang membuat saya tetap maju adalah karena saya sangat mencintai apa yang saya lakukan. Kalian harus menemukan apa yang kalian cintai. Dan itu sama benarnya untuk memilih pekerjaanmu atau pasanganmu. Pekerjaan kalian akan mengisi sebagian besar dari hidup kalian, dan satu-satunya cara untuk benar-benar bahagia adalah dengan melakukan apa yang kalian percaya adalah sebuah pekerjaan terbaik. Dan satu-satunya cara untuk melakukan pekerjaan terbaik adalah dengan mencintai apa yang kalian kerjakan. Jika kalian masih belum menemukannya, teruslah mencari. Jangan berhenti. Karena itu semua adalah perihal masalah hati, kalian akan mengetahuinya begitu kalian menemukannya. Dan, sebagaimana semua hubungan yang baik, itu akan semakin membaik seiring dengan berjalannya waktu. Maka teruslah mencari sampai kalian menemukannya. Jangan berhenti.

***

Cerita ketiga saya adalah tentang kematian.

Ketika saya berusia 17, saya membaca sebuah quote yang bunyinya seperti ini: “Jika kau hidup setiap hari selaiknya itu adalah hari terakhirmu, suatu hari tebakanmu itu akan benar.” Itu memberi kesan mendalam pada saya, dan sejak itu, selama 33 tahun, saya selalu menatap cermin setiap pagi dan bertanya pada diri saya sendiri: “Jika hari ini adalah hari terakhir hidup saya, akankan saya ingin mengerjakan apa yang akan saya kerjakan hari ini?” Dan kapanpun jawabannya adalah “Tidak” untuk beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya butuh untuk mengubah sesuatu.

Mengingat bahwa saya akan mati sewaktu-waktu adalah alat terpenting yang pernah saya temukan untuk membantu saya mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup. Karena hampir segalanya –segala harapan dari luar, segala kebanggaan, segala ketakutan untuk malu atau gagal –semua itu akan sirna di hadapan kematian, meninggalkan apa yang benar-benar penting. Mengingat bawa kalian suatu hari akan mati adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa kalian memiliki sesuatu untuk dipertahankan. Kalian sudah telanjang. Tak ada lagi alasan untuk tidak mengikuti kata hati kalian.

Sekitar satu tahun yang lalu saya didiagnosis kanker. Saya menjalani scan pada jam 7.30 pagi, dan hasilnya secara jelas menunjukkan adanya tumor di pankreas saya. Saya bahkan tak tahu apa itu pankreas. Para dokter memberitahu saya bahwa ini adalah hampir pasti sebuah jenis kanker yang tak dapat disembuhkan, dan saya harus menerima bahwa saya hanya dapat bertahan hidup selama tiga atau enam bulan ke depan. Dokter saya memberi nasehat agar saya pulang dan mengatur segala urusan saya, yang mana merupakan kode dokter untuk menyiapkan kematian. Itu berarti kalian harus mencoba untuk menceritakan kepada anak-anak kalian tentang segala sesuatu yang kalian pikir kalian masih punya 10 tahun berikutnya untuk menceritakan kepada mereka, hanya dalam waktu beberapa bulan. Itu berarti bahwa segala sesuatunya harus dipersiapkan agar semuanya berjalan semudah mungkin untuk keluarga kalian. Itu berarti kalian harus mengucapkan salam perpisahan.

Saya hidup dengan dengan diagnosis itu sepanjang hari. Beberapa lama setelahnya pada malam hari saya menjalani biopsi, di mana mereka memasukkan endoskop ke dalam tenggorokan saya, melalui perut dan ke dalam pencernaan saya, meletakkan sebuah jarum ke dalam pankreas saya dan mendapatkan beberapa sel tumor. Saya diberi obat penenang, tetapi istri saya, yang ketika itu berada di sana, bercerita bahwa ketika mereka memeriksa sel-sel itu di bawah mikroskop para dokter mulai menangis sebab ternyata itu adalah jenis kanker pankreas yang dapat disembuhkan melalui operasi. Saya menjalani operasi dan syukurlah saya baik-baik saja sekarang.

Ini adalah pengalaman paling dekat saya pernah menjumpai kematian, dan saya harap itu adalah momen terdekat yang saya alami untuk beberapa dekade ke depan. Bertahan hidup melaluinya, kini saya bisa mengatakan ini kepada kalian dengan lebih yakin daripada sekadar bahwa kematian adalah sesuatu yang berguna dan murni merupakan konsep intelektual:

Tak ada seorang pun yang ingin mati. Bahkan orang-orang yang ingin masuk surga tak ingin mati untuk dapat pergi ke sana. Dan tetap saja kematian adalah tujuan yang kita bagi bersama. Tak seorang pun pernah lolos darinya. Dan memang begitulah seharusnya, karena Kematian boleh jadi adalah sebuah temuan terbaik dari Kehidupan. Ia adalah agen perubahan Kehidupan. Ia membersihkan segala yang tua untuk membuka jalan bagi yang baru. Sekarang yang baru adalah kalian, tetapi suatu hari tak lama dari sekarang, kalian perlahan akan menua dan dibersihkan pula. Maaf jika terlalu dramatis, tetapi ini memang benar.

Waktu kalian terbatas, maka jangan sia-siakan untuk menghidupi kehidupan orang lain. Jangan terperangkap oleh dogma –yang mana merupakan kehidupan dari hasil berpikir orang lain. Jangan biarkan berisik opini yang lain membuat suara hatimu tenggelam. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisimu. Mereka entah bagaimana sudah tahu ingin jadi apa kalian kelak. Segala yang lainnya adalah nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada sebuah publikasi menarik berjudul Katalog Seluruh Dunia, yang mana seperti sebuah kitab suci untuk generasi saya. Publikasi itu dibuat oleh seorang teman bernama Stewart Brand tak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membawanya ke dunia dengan sentuhan puitisnya. Itu adalah akhir 1960-an, sebelum personal computer dan publikasi desktop_, jadi semuanya serba dibuat dari mesin ketik, gunting-gunting dan kamera Polaroid. Itu seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum Google muncul: Idealis, dan dipenuhi dengan alat-alat yang rapi dan gagasan-gagasan luar biasa._

Stewart dan timnya mengeluarkan beberapa edisi dari Katalog Seluruh Dunia, dan ketika pada akhirnya tiba waktunya, mereka mengeluarkan edisi terakhir. Ketika itu adalah pertengahan 1970-an, dan saya seumuran kalian. Pada sampul belakang di edisi terakhir mereka terpajang sebuah foto suasana jalanan pedesaan di pagi hari, macam tempat yang mungkin kalian suka untuk jelajahi jika kalian berjiwa petualang. Di bawahnya adalah kata-kata: “Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh.” Itu adalah pesan perpisahan mereka sebagaimana mereka mengundurkan diri. Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh. Dan saya selalu berharap hal yang sama untuk diri saya. Dan sekarang, sebagaimana kalian menjalani kelulusan untuk memulai yang baru, saya berharap yang sama untuk kalian.

Tetaplah Lapar. Tetaplah Bodoh.

Terima kasih banyak, semuanya.

Sumber: news.stanford.edu


Headshot of Al Harkan

Hi, I'm Al, a Data Analyst and Media Researcher based in Indonesia. You can follow me on X/Twitter, see some of my work on GitHub, or connect with me on LinkedIn.