#works ~ 08 Jan 2018

Tentang Cita-Cita Pendidikan dari Pelosok Indonesia


Ketimpangan Pemanfaatan Teknologi Informasi antara Jawa dan Pelosok Indonesia

Pada November 2017 saya ditugaskan oleh Indonesia Mengajar untuk melakukan peninjauan lapangan di kabupaten Kepulauan Sula, provinsi Maluku Utara, guna mengetahui kondisi pendidikan dan sosial masyarakat setempat yang akan menjadi daerah penempatan para Pengajar Muda yang akan mengajar dan mendampingi masyarakat selama 5 tahun ke depan. Kabupaten Kepulauan Sula merupakan salah satu kabupaten di provinsi Maluku Utara yang berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019 tergolong Daerah Tertinggal. Untuk menuju ibukota kabupaten Kepulauan Sula saya harus menempuh 14 jam perjalanan kapal dari Ternate, dilanjutkan dengan menggunakan mobil atau perahu kecil untuk menuju ke desa-desa, hingga pada akhirnya saya berhasil mengunjungi 27 Sekolah Dasar dan total 31 desa, di seluruh 10 kecamatan dan 2 pulau utama kabupaten Kepulauan Sula.

Pengalaman tersebut membuat saya menyaksikan secara langsung bagaimana kontras kondisi pendidikan antara di Jawa dan pelosok Indonesia: bagaimana SD yang seharusnya memiliki 6 tingkatan kelas/kelompok belajar harus digabung menjadi 3 kelas saja karena keterbatasan bangunan; bagaimana siswa-siswi yang pergi ke sekolah tapi sangat jarang bertemu guru karena sang guru lebih banyak berada di ibukota kabupaten; sampai bagaimana bangunan sekolah yang tak berjendela, hanya berisi bangku dan meja tua, dan papan tulis yang tak lagi punya penyangga, harus dipaksakan menjadi tempat belajar bersama. Tetapi dari itu semua, yang paling menjadi sorotan bagi saya adalah bahwa sepertiga wilayah kabupaten Kepulauan Sula masih belum memiliki akses listrik, apalagi telekomunikasi atau internet.

Sebenarnya pemerintah sudah memberikan bantuan berupa generator listrik bertenaga surya untuk daerah-daerah terjauh, tetapi dikarenakan ketiadaan SDM yang merawat membuat alat-alat tersebut kini tak lagi bisa digunakan. Bahkan di Falabisahaya, daerah termaju kedua setelah Sanana ibukota kabupaten, hanya bisa menyalakan listrik selama 12 jam per hari. Saya melihat bahwa di samping pemberdayaan guru dan pelaku pendidikan setempat, pembukaan akses listrik dan informasi adalah kunci untuk memajukan pendidikan di daerah tertinggal seperti kabupaten Kepulauan Sula.

Setelah saya menyelesaikan tugas peninjauan di kabupaten Kepulauan Sula, saya kembali ke Jakarta dan menyaksikan fenomena yang bagi saya adalah sebuah ketidakadilan: sebab di saat masih terdapat ribuan bahkan jutaan penduduk Indonesia yang masih belum bisa mengakses listrik dan sumber informasi, melimpahnya energi di Jakarta dan internet sebagai sebuah sumber daya justru banyak disalahgunakan.

Hampir tiada minggu tanpa ada pemberitaan tentang kasus ujaran kebencian (hate speech) di media sosial, kasus SARA di internet yang berujung hingga ke ranah hukum, sampai konten-konten palsu (hoax) yang hampir setiap hari selalu menjadi trending di media sosial. Masih hangat di ingatan kita bahkan terdapat kasus sindikat Saracen yang merupakan sekelompok orang dengan spesialisasi memproduksi dan menyebarkan konten-konten negatif di internet untuk kepentingan menjatuhkan kelompok tertentu.

Hal ini tentu memprihatinkan, sebab setidaknya menurut  Perpres 131/2015 terdapat 122 kabupaten berstatus Daerah Tertinggal seperti Kepulauan Sula di mana di sana masih banyak penduduk Indonesia yang belum memiliki kemewahan untuk mengakses internet, bahkan listrik. Tetapi di saat daerah-daerah tertinggal tersebut sedang sangat membutuhkan akses listrik dan informasi untuk memajukan pendidikan, di daerah-daerah dengan kelimpahan akses internet justru banyak terdapat penyebaran konten-konten yang tak mendidik (counter educative). Sebagai seorang mahasiswa dengan minat besar terhadap pendidikan, masalah ini adalah sebuah peluang untuk menyumbangkan pikiran dan kekuatan, membawa sebuah solusi untuk masalah yang sedang ada di Indonesia, dimulai dari hal terkecil yang bisa saya dilakukan.

Potensi dan Visi Jurnalisme Pendidikan

Internet adalah salah satu bentuk media massa daring (online) yang seharusnya memang memiliki sebuah peran pendidikan bagi sebuah masyarakat. Penetrasi listrik bersama internet cepat atau lambat pasti akan memasuki daerah-daerah pelosok Indonesia sebab pemerataan dan pembangunan infrastruktur selalu menjadi salah satu program prioritas pemerintah. Maka dari itu, yang perlu dipikirkan secara matang adalah bagaimana agar kehadiran internet dan media massa di daerah-daerah tersebut tidak akan disalahgunakan, tetapi dapat menjadi teknologi yang bermanfaat utamanya bagi pendidikan masyarakat. Saya menamakan media yang secara sadar menjalankan misi untuk pendidikan masyarakat adalah media yang sedang menerapkan jurnalisme pendidikan, yakni jurnalisme yang dalam produksi konten-konten informasinya secara aktif berorientasi bukan pada popularitas semata, tetapi untuk mengedukasi masyarakat.

Dalam ilmu komunikasi, Joseph R. Dominick dalam bukunya yang berjudul Dynamics of Mass Communication menjelaskan bahwa media massa memiliki 5 peran utama bagi sebuah masyarakat, yakni pengawasan (surveillance), interpretasi (interpretation), penghubung (linkage), sosialisasi dan pendidikan (socialization and education), dan penyedia hiburan (entertainment). Kita bisa melihat bahwa sebagian peran tersebut terlihat jelas telah ada pada media-media elektronik dan daring di Indonesia: televisi banyak menyediakan siaran-siaran hiburan (fungsi entertainment), kanal-kanal media daring yang hadir di media sosial telah menjadi penghubung masyarakat (fungsi linkage), dan tayangan-tayangan berita telah menjalankan peran pengawasan dan sosialisasi antara masyarakat sipil dan pemerintah (fungsi socialization dan surveillance).

Namun peran media massa yang masih belum banyak atau gagal dipenuhi oleh media di Indonesia adalah peran interpretasi dan pendidikan (interpretation dan education). Hal ini dapat dilihat dari masih rentannya berita palsu menyebar luas dan cepat di masyarakat, menunjukkan bahwa media belum mampu menyajikan informasi secara efektif yang membuat masyarakat mampu menginterpretasikan sebuah isu secara tepat sekaligus bernilai pendidikan. Hal ini dikarenakan oleh fakta bahwa bagaimanapun, sebuah media massa adalah sebuah organisasi komersial, organisasi yang sedang menjual konten-konten informasinya, sehingga pertimbangan editorial menjadi sangat berat kepada seberapa laku sebuah informasi bagi masyarakat, bukan seberapa mendidik konten tersebut bagi masyarakat.

Namun jika dibiarkan, media akan terus menerus menyajikan konten informasi berdasarkan kepada apa yang laris di masyarakat, dan masyarakat akan terus menerus mengonsumsi konten informasi yang kurang bermutu, yang tak jarang memang tak mendidik. Hal ini menjelaskan kenapa laman-laman berita yang populer di Indonesia lebih banyak menyajikan berita kehidupan artis dan kontroversi sosial politik, sementara berita-berita positif berupa kabar-kabar baik dari pelosok Indonesia jarang menjadi berita utama. Untuk mengatasi atau setidaknya mengimbangi hal ini, dibutuhkan sebuah media yang berani menjadi pionir untuk fokus memproduksi konten-konten edukatif, yang orientasi editorialnya bukan pada keuntungan iklan dan daya jualnya di masyarakat semata, tetapi berorientasi pada tujuan bahwa salah satu peran media adalah mendidik masyarakat.

Kenapa sampai saat ini belum ada media besar di Indonesia yang berani memimpin untuk menjadi produsen konten edukatif, menurut pengamatan saya terdapat 2 alasan utama: sebab (1) segmen masyarakat yang menyukai konten hiburan dan kontroversial, bukannya edukasi, jauh lebih besar, dan (2) belum ada investor kuat yang bisa mendukung pengadaan media besar yang fokusnya adalah pendidikan. Dari dua faktor tersebut, sebenarnya terdapat satu jawaban sekaligus: apabila dapat dibuktikan bahwa masyarakat Indonesia juga memiliki preferensi besar terhadap konten pendidikan, sehingga terdapat ceruk yang menguntungkan untuk menjadi penyedia konten di segmen itu, maka media massa dan investor akan berlomba-lomba menyajikan konten pendidikan. Tetapi apabila memang masyarakat Indonesia belum banyak yang memiliki preferensi terhadap konten edukatif, maka harus ada media atau pihak yang berani mendidik dan menumbuhkan preferensi tersebut, agar memancing media dan investor untuk mengembangkan segmen tersebut, dan pada akhirnya bisa hadir sebuah media besar di Indonesia yang tema besarnya adalah pendidikan, bersanding sama besar dengan media-media lain yang fokusnya adalah hiburan.

Lebih lanjut membahas apakah memang di Indonesia belum ada potensi untuk hadirnya kanal media pendidikan, secara mendasar dapat dilihat dari jumlah penduduk Indonesia menurut tingkat pendidikannya. Menurut Badan Pusat Statistik, bahkan 8 tahun lalu pada Sensus Penduduk Tahun 2010 menunjukkan bahwa 11 juta penduduk Indonesia telah menamatkan Pendidikan Tinggi, sedangkan 40 juta selainnya telah menamatkan pendidikan SLTA. Hal ini berarti bahwa lebih dari 20% (dua puluh persen) atau 51 juta populasi masyarakat Indonesia telah mengenyam pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Menurut penilaian saya pribadi ukuran ini dapat digunakan, meskipun tidak secara langsung, bahwa masyarakat Indonesia memiliki pendidikan yang cukup dan potensial untuk menerima kehadiran media edukatif. Di sisi lain, sebagai percontohan, di luar negeri terdapat banyak media massa edukatif yang memfokuskan pada produksi konten edukatif, seperti National Geographic, Discovery Channel, Animal Planet, BBC Documentary, History Channel, sampai Vox Media, sebuah kanal daring yang sedang naik daun yang visualisasi kontennya sangat menarik namun tetap mempertahankan konten dengan riset mendalam dan penyajian yang mendidik. Media massa di Indonesia bisa mencontoh model-model media tersebut, bagaimana mengembangkannya, dan mengangkat konten-konten pendidikan yang disesuaikan dengan konteks masyarakat Indonesia, seperti kekayaan budaya dan warisan keseniannya.

Masyarakat Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pasar bagi hadirnya media massa yang mengedepankan jurnalisme pendidikan, dan media di Indonesia memiliki banyak percontohan untuk menghadirkan konten-konten tersebut. Maka yang dibutuhkan adalah keberanian pihak yang mau untuk menggarap potensi tersebut dan mampu menjadi pionir jurnalisme pendidikan di Indonesia.

Memaknai Diri

Secara keseluruhan, esai ini adalah sebuah ungkapan dari dua minat terbesar saya, yakni jurnalisme dan pendidikan, yang mana sejak lama telah menjadi impian saya agar dapat menggabungkan kedua renjana (passion) tersebut menjadi sebuah karya yang memiliki manfaat (value) bagi masyarakat, lebih-lebih sebuah kontribusi signifikan bagi Indonesia. Meski sebelumnya saya sempat melewati masa kebingungan mengenai karier yang paling tepat yang dapat mewadahi kedua minat tersebut, kini impian itu mulai memiliki bentuk dan rencana untuk diwujudkan. Saya melihat bahwa bentuk kontribusi yang bisa saya ambil untuk Indonesia adalah dalam mengembangkan jurnalisme sebagai media pendidikan -mempopulerkan jurnalisme pendidikan.

Bergabung dengan Indonesia Mengajar adalah salah satu pilihan terbesar yang pernah saya ambil, karena saya harus merelakan tempat kerja lama di perbankan yang menawarkan jaminan finansial dan keteraturan jadwal pekerjaan, untuk bekerja di Indonesia Mengajar yang banyak mendorong untuk bekerja layaknya seorang relawan. Tetapi pilihan tersebut adalah salah satu pilihan yang paling saya syukuri, sebab dari Indonesia Mengajar saya dipertemukan dengan orang-orang yang bekerja bukan untuk kekayaan, melainkan demi pengorbanan untuk pendidikan. Saya dipertemukan dengan banyak penggerak pendidikan yang tak memandang latar profesi, mulai dari tukang ojek hingga pemerintah daerah, yang rela mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, hingga uangnya untuk memajukan pendidikan mulai dari pelosok Indonesia.

Pada akhirnya, pertemuan saya dengan para relawan pendidikan itu adalah momen yang membuat saya mendefinisikan ulang makna dari sebuah pribadi yang unggul. Bahwasanya seseorang yang unggul bukanlah diukur dari seberapa lebih hebat ia dari orang lain, tetapi dari seberapa ia bermanfaat bagi orang lain.

____________________

Esai ini saya tulis sebagai persyaratan seleksi salah satu beasiswa di 2018


Headshot of Al Harkan

Hi, I'm Al, a Data Analyst and Media Researcher based in Indonesia. You can follow me on X/Twitter, see some of my work on GitHub, or connect with me on LinkedIn.