#stories ~ 24 Jan 2015

18 Sentimeter – #2 (Tamat)


Sentimeter pertama. Gambar pertama.

Aku mengenal gambar ini! Aku bahkan kenal betul dengan obyek nyata dari gambar ini! Komposisi warna alam: hijau, oranye, gelap, cokelat, biru. Pematang sawah sore hari dengan anak-anak bermain layang-layang! Memang seharusnya ini adalah gambar pertama, dengan sentimeter pertama pensilku waktu itu, karena ia sendiri yang meraut ujung utuhnya, kemudian menggambar dengan penuh semangat setelah sebelumnya menjadi anak yang super sungkan menggangguku untuk sekedar meminjam pensil.

Terang, gambar ini tak hanya mengingatkanku pada kejadian waktu itu, hari pertama semester baru, hari pertama kelas baru, dan hari pertama ia duduk di sebelahku. Tapi juga mengingatkanku pada hari-hari ketika sore kulewatkan di tengah sawah, perjalanan yang penuh lumpur, saung kecil dengan tawa-tawa besar, aliran sungai yang cukup untuk membuat kami kedinginan, layang-layang yang terbang tinggi. Semuanya.

Gambar ini, maksudku Ilham, mengingatkanku pada semua itu. Mensyukuri semua itu.

17 Sentimeter

Batang pensil sentimeter kedua.

Di gambar ini terlihat anak sedang di dekat papan tulis, badannya menghadap papan tulis. Tangan kanannya meraih tinggi papan tulis dengan kapur tulis, tangan kirinya memegang buku, tetapi kepalanya menoleh ke belakang. Jika gambar ini adalah sebuah foto, maka anak di situ tampak sedang tersenyum lebar melihat kamera. Eh? Itu aku! Ternyata aku!

Aku ingat, itu adalah aku ketika dihukum karena terlambat dengan menuliskan materi sejarah Indonesia di papan tulis sebanyak 5 halaman. Aku bisa mengerjakan hukuman sambil berlagak seperti itu karena guru kami meninggalkan kami ke kantor. Tapi begitu kembali ke kelas, aku dengan cepat meneruskan menulis dengan kapur di papan. Gambar ini, melupakanku sejenak dari ingatan apapun tentang SD selain itu, tetapi kemudian menyadarkanku sesuatu: Ilham sudah bisa menggambar sketsa manusia! Wajah!

Dulu ia pernah bercerita padaku setelah kupuji bahwa ia sangat pandai menggambar dan gambar-gambarnya sangat bagus, bahwa sebenarnya ia tidak puas dengan semua gambar-gambarnya itu. Sebab selama ini yang ia gambar melulu hanyalah pemandangan alam. Padahal ia sangat ini bisa menggambar manusia, makhluk hidup yang penggambarannya membutuhkan keahlian tinggi. Selama ini ia hanya menggambar manusia berupa sosok-sosok tanpa wajah. Tapi begitu melihat gambar ini, melihat gambarku dengan wajah detail di dalamnya, dalam hati aku menggerutu, “Sialan! Ternyata pujian bahwa aku sudah berhasil menulis, di suratnya, hanya ledekan. Justru dia yang lebih berhasil dengan hobinya!”

Ia berhasil mewujudkan salah satu impiannya. Menggambarkan ekspresi manusia.

16 Sentimeter

Gambar ketiga.

Di terlihat gambar piala yang sangat rumit. Aku tidak pernah melihatnya, dan kupikir ini pastilah piala khayalan si Ilham. Hanya saja, di bagian plat kakinya, kubaca tulisan: Juara 1 Lomba Makan Kerupuk 17 Agustus 2005.

Gambar ini tidak mengingatkanku pada sebuah obyek nyata, tapi aku tahu apa maknanya, dan membuatku mengingat lebih banyak daripada menggambarkan ekspresiku yang kewalahan memakan kerupuk gantung dengan tangan terikat di belakang.

Aku ingat, waktu itu di kelas 4, aku dan Ilham menjadi perwakilan kelas untuk mengikuti lomba-lomba 17-an. Dan kami terpilih untuk mengikuti cabang lomba Makan Kerupuk. Pada waktunya, 10 anak pun berjejer dengan tangan terikat di belakang dan di hadapannya ada 1 kerupuk tergantung. Aku berada di sebelah Ilham. Ketika peluit berbunyi, kami bersepuluh pun beradu cepat meraih kerupuk gantung itu dengan mulut kami. Sulit sekali, sampai-sampai tiap orang berputar-putar di sekeliling kerupuk gantung itu, mencoba menggigit dari berbagai arah, sebab kerupuk gantung itu benar-benar berputar di tempat. Beberapa menit berlalu, kulihat kerupukku tinggal satu gigit terakhir, dan peluit belum dibunyikan kembali tanda belum ada pemenangnya. Dengan semangat, aku berjinjit, menengadahkan kepalaku tinggi-tinggi, lalu mengangguk kuat untuk menarik-gigit lepas kerupuk itu dari tali penggantungnya. Tapi tiba, tiba: “Dukk!!” keras, dan aku tersungkur mundur, jatuh terduduk, dengan kepala pening seperti membentur dinding.

Lalu semua orang yang menonton lomba kami tertawa keras-keras. Apa-apaan. Pusing, aku melihat sekeliling. Ternyata di depanku juga ada anak dengan posisi sama, mata memejam kepala menggeleng tanda pusing, ternyata Ilham. Ternyata kepala kami tadi berbenturan keras, karena kami sama-sama mencoba hal yang sama untuk menggigit lepas sisa kerupuk terakhir. Ia melihatku bingung yang sama-sama terduduk, sementara kerupuk sisa masih tergantung. Tapi tiba-tiba: “Priiitt!!” Peluit berbunyi, tanda sudah ada yang berhasil menghabiskan kerupuk pertama kali. Kami berdua kalah, ditambah dengan benjol kepala beberapa menit kemudian.

15 Sentimeter

Batang dari sentimeter 16 sampai sentimeter 15.

Sekarang terlihat sosok yang membelakangi kanvas. Ia berdiri tegap, kaki rapat, tangan kiri menggenggam di di samping paha kiri, bertopi, dan tangan kanan menunjukkan gerak hormat. Sosok itu berdiri tepat di depan tiang bendera yang di puncaknya Merah Putih berkibar. Aku paham, ia mencoba menggambarkanku ketika aku pertama kali menjadi Pemimpin Upacara. Tapi gerutuku lagi, kalau sosoknya digambar dari belakang seperti ini, tak terlihat wajahnya, ini bisa siapa saja asalkan pernah menjadi petugas itu? Haha.

Tapi sepertinya aku salah, dan Ilham selalu detail dalam gambarnya. Ia tahu aku akan berpikir –atau lebih tepatnya menggerutu, seperti itu. Akhirnya kulihat, bagaimana ia mengklaim gambar itu hanya sebagai sosokku, yaitu dengan noda merah kecil di pundak kiri agak ke belakang. Aku ingat, itu adalah cat dari kuas lukis yang tak sengaja ia sentuhkan ke pundakku waktu balas menyapaku yang mengagetkannya di rumahnya sepulang sekolah. Setelah ketidaksengajaan itu, sampai hampir habis maghrib, acara main PS kami batal karena dia lebih memilih mengucek kemejaku untuk menghilangkan cat merah itu. Tapi gagal, masih saja terlihat noda jelas. Keesokan harinya, kemejaku belum kering dan ia memaksaku untuk menggunakan kemejanya untuk sekolah, sementara ia memilih untuk menggunakan seragam hari Rabu, yang membuatnya dihukum untuk membantu petugas perpustakaan selama 2 kali istirahat.

14 Sentimeter

Gambar pemandangan. Lagi.

Kebun tebu tampak di bagian kanan gambar, dengan latar belakang gunung yang terlihat jelas. Terdapat jalan lebar yang mengarah ke sebuah bangunan besar yang sudah rusak. Agak jauh di sebelah kanan, terlihat pesawat terbang yang sedang tinggal landas ekor udara tipis di belakangnya. Ada sepeda yang terparkir di belakang ekor itu, seperti memperlihatkan pengemudinya telah turun dari sepeda untuk naik pesawat terbang.

Lagi-lagi membuatku ingat. Itu adalah pemandangan tak jauh dari rumahku, di mana kami biasa bersepeda di Sabtu atau Minggu pagi ramai-ramai. Gedung tua rusak itu adalah gedung milik militer Angkatan Udara yang tak difungsikan, sementara pesawat di gambar tadi memang adalah pesawat yang berangkat dan melandas tak jauh dari gedung itu berdiri. Kami bersepeda tak sampai 3 kilometer, melewati padang tebu-tebu setinggi orang dewasa, hingga akhirnya keluar di jalan raya lebar, pemandangan gunung 360 derajat, dan hamparan luas landasan pesawat terbang. Kalau sedang ada latihan penerbangan, kami biasa bercanda dengan menggunakan pesawat yang hanya terbang berputar-putar di atas kami sepanjang hari seperti lambang orang pusing di film-film kartun.

13 Sentimeter

Lanjut.

Sekarang terlihat gambar sebuah sepeda –aku menyebutnya, alay sedang diparkir di depan pintu rumahku. Itu sepedaku waktu SD. Dulu, tampilan sepeda hias seperti itu menjadi kebangganku yang terbesar, tapi sekarang aku menyebutnya alay. Bayangkan, kertas warna-warni, mungkin 7 warna, menutupi hampir seluruh sepedaku. Dibelitkan di antara jeruji roda, membelit besi frame sepeda, menggulugn setang, mengekor di belakang sadel, bahkan merumbai-rumbai.

Aku ingat meskipun arak-arakan sepeda hias waktu itu bukanlah ajang balap, tapi aku bersemangat sekali untuk tiba di garis finish lebih dulu. Dan memang kemudian itulah yang terjadi. Tapi di undian pemenang doorprize, aku tak mendapatkan apapun, bahkan sebungkus mie goreng. Malang tak dapat ditolak, aku pulang kehujanan, dan kertas yang kupasang di sekujur sepedaku dengan lem tadi basah, hancur, sebagian tetap melekat tak karuan dengan warna yang luntur. Menyedihkan.

12 Sentimeter

Pemandangan lagi.

Hampir seluruhnya hijau. Bahkan langit pun tak ditampilkan lebar dalam lembar ini. Komposisi terbesar kedua setelah hijau adalah hitam. Ini adalah pemandangan lapangan tempat kami kadang menonton tim sepakbola desa kami berlatih. Lapangan ini digambarkan dalam keadaan sepi, luas, bahkan di gambar ini lebih luas dari langit, hijau lebih luas dari biru. Sedangkan segumpalan hitam yang kumaksud tadi adalah capung-capung yang beterbangan di atas lapangan.

Dulu, bisa kusebut itu awan capung. Sebab kalau sedang musimnya, mereka bisa mencapai ribuan dan terbang tak tentu arah di atas lapangan. Belakangan aku tahu bahwa hal seperti itu adalah musim kawin bagi capung. Dulu aku juga sering, ketika jam olahraga kami dibawa ke lapangan ini, setelah pemanasan, bukannya ikut bergabung di sepakbola atau kasti, aku malah melepas topi dan melompat-lompat mencoba menangkapi capung itu. Jika aku beruntung, sampai habis jam olahraga aku bisa mendapatkan seekor dalam topiku, yang begitu kubuka untuk melihatnya, capung itu langsung terbang lagi mencari pasangan kawinnya.

11 Sentimeter

Yang ini sederhana.

Gambar yang ini sangat sederhana. Lebih banyak bagian putih polos. Di tengahnya terdapat sebentuk gambar hati, yang ia gambar sedemikian rupa sehingga tampak itu adalah tanah liat yang dikeringkan. Relief dari bentuk itu, tampak 3 huruf: I&H.

Sialan! Anak ini mengejekku! Maksud gambar itu adalah sindiran padaku ketika aku coba “ditembak” oleh anak paling gendut dan hitam di sekolah waktu kelas 5. Waktu itu ada tugas prakarya untuk membuat kerajinan dari tanah liat, dan disarankan untuk membuat asbak. Tapi anak yang kumaksud tadi, panggilannya Hepi, bukannya membuat barang yang berguna, tapi malah membuat bentuk hati seperti itu dengan inisialnya dan inisialku di tengah-tengahnya. Sial! Sejak kejadian itu, aku menjadi bahan ledekan di kelas selama hampir satu bulan, bahkan guru-guru pun sebagian ikut. Mereka mengucapkan I&H itu sebagai kata “ih” yang disuarakan dengan sangat manja yang membuatku geli tingkat dewa, sementara sebagian yang lain mengeja “I&H” itu seperti seorang koboi yang sedang beraksi, “IIIIII Haaaaaaa”, maksudnya, “Yeeeea Haaaa!!”

10 Sentimeter

Gambar sentimeter 10.

Gambar pantai. Tidak ada sosok manusia, tapi di kejauhan terdapat dua gelombang yang memusat berbentuk lingkaran dengan 2 butir hitam. Aku ingat, itu adalah ketika kami mengadakan rekreasi ke pantai selatan, lalu sempat adu lempar jauh batu karang ke tengah pantai. Untuk urusan ini, lenganku lebih kuat dari lengan Ilham yang tak terbiasa olahraga, aku selalu menang.

Waktu kami selesai, Ilham memilih batu pipih dari pasir pantai dan melemparnya ke tengah laut dalam keadaan memutar. Batu itu jatuh tidak jauh dari titik terjauh yang mampu dicapai batu lemparan Ilham, tapi karena batu tadi pipih dan berputar, batu lemparan kali itu terpantul, terpantul dan terpantul sampai kemudian tenggelam hampir dua kali lipat jarak bibir pantai ke titik pertama batu itu menyentuh air setelah Ilham lempar. Jauh lebih jauh dari lemparanku. Dan aku tidak bisa melempar seperti itu.

Saat itulah kusadari, Ilham sama sekali tidak kalah dariku. Ia, hanya mengalah.

9 Sentimeter

Masih banyak gambar.

Sekilas, gambar ini sepertinya gambar abstrak saja. Sebab gambar ini memperlihatkan kertas putih polos yang bercorak tanpa pola berupa gumpalan-gumpalan hitam. Tapi entah kenapa, gumpalan itu seperti bergerak. Tentu saja aku tak percaya gambar ini mampu bergerak, tapi Ilham berhasil membuat ilusi, setidaknya bagi mataku, bahwa gambar pola abstrak itu bergerak.

Ini adalah gambar awan! Lagi, aku ingat, itu adalah langit yang ia tunjuk ketika ia bercerita padaku bahwa ia yakin langit adalah sama seperti manusia, hewan dan tumbuhan. Langit hidup. Mungkin itulah kenapa aku melihat ilusi gambar langit berawan itu bergerak, sebab Ilham berhasil menanamkan keyakinannya padaku. Aku pun yakin bahwa langit memang adalah benda hidup. Kebenaran?

8 Sentimeter

Lucu.

Gambar ini memperlihatkan aku dan Ilham terduduk di halaman sekolah sambil memegangi kepala, sementara temanku satu lagi sambil memegangi pantatnya, sambil menampakkan ekspresi kesakitan. Di sebelah kami, ada tangga yang tergeletak, dan di atap kelas, ada bola yang tersangkut di saluran air.

Itu adalah waktu kami bertiga terjatuh bersama setelah bermain-main dengan tangga. Maksudku, kadang ketika kami tiba pagi-pagi di sekolah, kami menyempatkan untuk bermain bola. Kemudian salah satu tendangan Amir, teman kami yang jatuh bersama waktu itu, terlalu tinggi, jatuh ke atap dan tak bisa turun karena tertahan saluran air. Maka si Amir pun bertanggung jawab untuk mengambil bola itu, dengan membujuk aku dan Ilham untuk memegangi tangga di bawah. Malang, posisi tangga kami tidak tepat lurus ke arah bola di atap, yang membuat si Amir di ujung tangga harus mengulur-ulurkan tangannya sepanjang mungkin untuk meraih bola itu. Usaha itu membuat Amir menggoyang-goyangkan tangga, dan kami berdua di bawah tidak cukup kuat untuk menahan tangga labil itu. Di rentangan tangan terakhir, Amir berhasil menjatuhkan bola itu, tapi rentangan tangan sekuat tenaga itu sama sekali tidak kuat untuk kami berdua tahan. Alhasil, kami bertiga jatuh –eh, berempat ding, sama tangganya, dengan Amir jatuh berbantal pantat tebalnya. Aku dan Ilham? Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

7 Sentimeter

Pramuka.

Ia hanya menggambar tumpukan rapi kayu bakar, dengan api menyala terang di atasnya. Itu cukup untuk mengingatkanku pada Perkemahan Sabtu-Minggu pertama dan terakhir kami. Api unggun ini pun menjadi pengingat kuat, karena memang baru pertama kali itu kami sama-sama melihat api unggun, yang dalam benak kami pun sama: keren!

Waktu api unggun malam itu, Pembina kami mengundi dengan nyanyian lucu yang membuat siapa yang kalah harus menampilkan pertunjukan di depan selama api unggun menyala. Entah nasib atau apa yang mengatur kami, aku dan Ilham bersamaan kalah dan harus maju. Yang lain menyoraki, dan menyerukan agar kami bernyanyi dan menari. Dua hal yang tidak ku bisa, dan tidak kami berdua bisa. Tapi karena itu sudah peraturan, dan itu hanya permainan, maka kami pun berusaha semampu kami. Ilham memutuskan menyanyikan lagu yang paling ia ingat: Indonesia Raya, sementara aku memutuskan menarikan apa yang paling kuhafal dari televisi: Michael Jackson. Indonesia mengalun dengan cukup bagus, sementara gerakanku tidak jelas. Yang ada di pikiranku adalah menirukan gerakan dan sama kerennya dengan MJ, tapi yang temanku lihat adalah aku menggeliat-geliat tak jelas seperti orang antre toilet.

6 Sentimeter

Sudut pandang menengadah.

Tampaknya seperti aku sedang menatap ke langit-langit kelas. Meskipun putih bersih, tapi kotak-kotak berperspektif cukup menggambarkan bahwa itu adalah atap kelasku kelas 4 dan 5. Jelas, terlihat juga beberapa pesawat kertas yang beterbangan di atap langit-langit itu.

Haha, dia meledekku lagi. Itu adalah pesawat-pesawat kertas yang aku dan beberapa temanku buat waktu ulangan Matematika dadakan, yang malangnya adalah aku yang mengawalinya, dan membuat kami semua ditendang dari kelas. Benar-benar ditendang dalam harfiahnya, sebab sebelum kami diusir dari kelas untuk bermain pesawat kertas di halaman meninggalkan ulangan Matematika, sebelumnya kami semua ditendang di pantat oleh kepala sekolah dengan sepatunya yang berujung besi. Terima Kasih.

5 Sentimeter

5 cm.

Ini menggambarkan halaman SD-ku hanya sampai kelas 5. Gambar pohon beringin kecil. Tidak cukup seram, tapi tidak cukup memberanikan anak-anak untuk bertahan lama di bawahnya. Sampai aku kelas 5, pohon itu terus tumbuh lebat, tapi begitu aku kelas 4, ketika halaman sekolah kami di-paving, pohon itu tak tumbuh sesehat sebelumnya, tak selebat sebelumnya. Kenapa kusebut “hanya sampai kelas 5”? sebab setelah itu, pohon itu ditebang, diratakan dengan tanah. Dikalahkan 4-5 balok paving.

Kenapa Ilham menggambarkan ini untukku? Mungkin, sebab dulu kami sempat adu tahan bertahan lama di bawahnya. Tidak ada di antar kami yang menang atau kalah. Hasilnya seri. Yaitu 30 menit. Sebab adu itu kami lakukan ketika istirahat. Jadi ketika bel istirahat pertama berbunyi, kami berdua berlari ke bawah pohon itu, berdiri di bawahnya sampai bel masuk kelas kembali berbunyi. Yang terjadi bukan adu kuat atau tahan takut, yang ada malah kami adu tahan malu karena selama 30 menit itu kami dilihati oleh seluruh anak-anak di sekeliling halaman, dari jendela-jendela kelas, yang melihati kami seperti kami ini orang aneh. Memang aneh.

4 Sentimeter

Tumpukan ini semakin tipis.

Gambar empat lengkungan hitam yang hitamnya ia warna dengan teknik garis-garis. Kuperhatikan sekali lagi, ternyata itu adalah gambar empat alis. Ia gambarkan empat alis itu dengan efek bayangan merah muda, sehingga membuat kulit alis itu tampak memerah.

Aha! Aku ingat. Itu adalah kenakalan yang lain. Suatu ketika dia menceritakan padaku bahwa ia memiliki tetangga yang memiliki cara unik tapi mujarab untuk menghentikan kucing yang suka jahil mencuri, yaitu dengan mengoleskan cabai yang ujungnya sudah dipotong ke kedua alis kucing itu tadi. Setelah ide gila terlintas di kepalaku, sepulang sekolah aku langsung mengajaknya ke rumah tetanggaku yang punya beberapa tanaman cabai di halaman rumahnya. Setelah memetik –dengan jin belakangan, beberapa, aku mematahkan sebuah. Aku oleskan masing-masing dua kali potongan cabai itu di atas alisku. Tapi tak terasa apa-apa. “Lihat? Tidak terjadi apa-apa kok! Coba!”

Entah kenapa ia tampak seperti tanpa ragu, atau aku memang bakat meyakinkan, ia langsung mengikuti apa yang barusan kulakukan. Tapi perlahan-lahan, alisku mulai terasa hangat. Hangat, hangat dan panas. Panas, panas, kemudian menjalar ke mata. Mataku pedih! Pedih sekali! Ilham pun mulai merasakan hal yang sama! Kulihat mata Ilham memerah, yang kemudian meyakinkanku bahwa mataku pun pasti sama merah. Kami saling melarang untuk mengucek mata. Tapi pedihnya tak tertahankan. Kami lalu berlari ke kran air terdekat, membasuh tangan kemudian muka. Mengusap-usap alis dan kelopak mata dengan air. Cukup reda, tapi tidak cukup. Lalu kami putuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Dan begitu tiba di rumah, aku mengambil es dan mengompres kedua mata dan alisku yang terbakar cabai. Goblok!

*Aku tidak melihat kucing di dapur sedang mencuri makan siangku.

3 Sentimeter

Hampir lembar terakhir.

Hanya gambar satu benda dan satu angka. Penggaris dan angka 8 yang direbahkan. Kali ini aku tidak langsung mengerti gambar apa ini, dan kejadian mana lagi yang ia maksudkan. Lama kuperhatikan detail gambar ini, sampai akhirnya aku mendapati segaris aneh di gambar penggaris kayu itu. Gambar penggaris itu adalah penggaris papan tulis sepanjang 1,5 meter yang dekat ujungnya retak hampir patah.

Sial! Ledekan lagi! Karena yang kumaksud angka 8 tadi ternyata bukan angka 8, tetapi simbol pantat yang digambarkan asal-asalan, agar tidak terlihat seperti pornografi. Haha. Maksud gambar ini adalah kejadian ketika aku yang waktu itu menjadi ketua kelas, menenangkan kelasku yang sedang ramai berantakan dengan membentak dan berteriak keras. Ternyata di pintu ada pak guru Agama yang galaknya minta ampun, dan langsung menyuruhku maju. Di depan kelas, bukannya aku dipuji karena usahaku untuk menenangkan kelas yang ramai, malah aku dicerahami bahwa tindakanku tadi sangatlah tidak sopan di depan guru. Begitu kujawab bahwa aku tidak melihat ada Bapak/Ibu Guru di kelas, aku malah dituduh tidak mendengarkan nasehat. Alhasil, pantatku menjadi sasaran senjata pamungkas Bapak itu, penggaris papan yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi –selama di sekolah. Kalau aku tidak menahan sakit itu kuat-kuat, pasti aku sudah berteriak “Aaw!” keras-keras. Aku berhasil, dan yang terjadi malah penggaris itu retak.

Esoknya, penggaris itu patah ketika digunakan pertama kalinya untuk menggaris bidang di papan tulis. Sejak itu, aku dijuluki si Pantat Besi, karena mampu menahan senjata pak Galak bahkan pantatku lah yang mematahkan senjata itu.

2 Sentimeter

Gambar terakhir.

Aku memiliki salinan gambar ini! Lebih tepatnya, foto. Tampak di gambar ini, dua orang seperti pose pas foto sedang berdiri bersebelahan, tersenyum lebar. Memakai kemeja, seperti tampilan berantakan setelah sebelumnya rapi sekali. Milikku yang kusimpan, gambar seperti itu adalah sebuah foto yang kami ambil setelah wisuda SD kami. Yang memotret adalah Ibu Ilham, tapi menggunakan kamera milik ibuku.

Luar biasa. Kau tahu kenapa? Karena ia tak memiliki salinan foto seperti yang kumiliki, foto pasca wisuda itu. Lalu ia menggambar, dengan hasil persis seperti foto milikku itu? Dia menggambar hanya dengan mengingat-ingat, dan membayangkan? Dia menggambarkan ingatannya tepat sama seperti apa yang kuingat ketika memandang gambar dalam foto itu.

***

Selesai kubuka satu per satu lembar-lembar gambar itu, seperti memutar cepat frame-frame kepingan video yang memutar ulang rekaman gerak dan suara aku, Ilham dan teman-teman lain ketika SD. Nyata. Dan baru saja selesai. Aku pun kembali terduduk di ruang tamu. Aku takjub dengan kemampuan Ilham memasukkan video 4 tahun SD kami ke dalam sebuah map cokelat yang dipaketkan. Lalu kuraih amplop cokelat tadi. Kuraba, ternyata masih tersisa sesuatu di dalamnya. Begitu kuambil, kulihat itu adalah sebuah gantungan kunci dengan bagian utama berupa sebuah kubus kaca bening berisi,, ujung terakhir dari pensil kami! Pensilku dan Ilham!

Kenapa batang 1 sentimeter itu berada di sini? Kenapa Ilham kirimkan juga bagian terakhir, sentimeter terakhir dari pensil ini padaku? Bukankah ia sendiri yang mengatakan, aku yang menyimpan 17 gambar ini sebagai 17 sentimeter batang pensil itu, sedangkan ia sebagai penjaga 1 sentimeter terakhir? Kenapa?

Lalu aku ingat, masih tersisa satu lembar terakhir dari paket yang belum kulihat, lembar surat kedua. Kuambil kertas itu dari tumpukan paling bawah, dan sekilas kulihat, tulisan tangan di surat terakhir ini berbeda dengan surat sebelumnya, surat Ilham. Ini bukan tulisan Ilham. Tetapi aku pun juga ingat, ini lembar yang tadi kujatuhkan ketika kubuka amplop paket ini, lembar yang seharusnya kubaca pertama. Lembar ini menjawab 2 pertanyaanku, kenapa Ilham seperti mengirimkan paket ini setelah terlambat hampir satu tahun, dan kenapa gantungan kunci yang seharusnya Ilham simpan malah ia kirimkan bersama paketnyha padaku. Di beberapa bagian, kulihat bulatan-bulatan kusut kertas, yang kuduga adalah bekas tetesan air. Keringat tidak mungkin menetes sebanyak ini. Mungkinkah surat ini ditulis sambil menangis? Lalu aku pun mulai membaca:

*

Kepada Ihan, teman Ilham.

Dik, saya Ibu dari Ilham. Surat ini seharusnya sudah Ilham kirimkan kepada kamu kurang lebih satu tahun lalu. Tetapi Ilham tidak bisa mengirimkannya. Ayah Ilham pun tidak membolehkan Ibu untuk mengirimkan surat ini. Tapi Ibu bersikeras untuk mengirimkannya, terutama setelah membaca salah satu kalimat Ilham di surat yang ia tulis kepada kamu. “Aku mau membayar lunas hutangku.”

Ketika Ibu mengirimkan paket Ilham bersama surat ini, Ibu berhasil meyakinkan Ayah Ilham untuk menyetujui Ibu mengirimkan paket ini kepada alamat yang sudah Ilham tulis, dengan alasan karena di bulan ini Ilham berulang tahun, serta keinginan Ilham yang tertuang dalam suratnya untuk membayar hutang pada temannya. Ibu hanya tidak ingin, Ilham memiliki hutang yang tertinggal kepada temannya, dan Ayah pun berpikir sama.

Maaf, paket ini telat Ibu kirimkan. Bersama ini juga ibu kirimkan gantungan yang tertinggal bersama beberapa lembar gambar-gambar Ilham dalam paket ini. Do’akan Ilham. Ilham tidak bisa mengirim gambar-gambarnya kepada Adik satu tahun lalu, dan tidak bisa bertemu dengan Adik lagi setelah ini. Ilham mengalami kecelakaan dalam perjalanannya ke kantor untuk mengirimkan surat ini. Maafkan Ibu, Ibu tidak kuat menceritakan semuanya di atas surat ini. Ibu minta maaf sekali.

Terima kasih sudah menjadi teman baik Ilham.


Headshot of Al Harkan

Hi, I'm Al, a Data Analyst and Media Researcher based in Indonesia. You can follow me on X/Twitter, see some of my work on GitHub, or connect with me on LinkedIn.